Selasa, 06 September 2011

Negara Ketiga Dalam Perjanjian Internasional Berdasarkan Konvensi Wina 1969


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerjasama antarnegara saat ini sudah tidak dapat lagi dihindarkan. Bentuk kehidupan yang kompleks sangat rentan untuk tejadi perselisihan. Untuk menghindari agar perselisihan tidak terjadi maka masyarakat internasional harus senantiasa bertumpu pada norma atau aturan. Aturan tersebut tidak hanya dibuat untuk menghindari perselisihan, akan tetapi juga untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan antarnegara. Perwujudan kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian.[1]
Perjanjian internasional merupakan sesuatu yang penting dalam hubungan internasional sehingga merupakan salah satu sumber hukum formil hukum internasional. kedudukan tersebut dikarenakan praktek-praktek negara saat ini telah mengatur beragam persoalan dan hubungan antara mereka dengan mempergunakan perjanjian-perjanjian internasional, sehingga menjadi jelaslah pentingnya perjanjian-perjanjian internasional.[2]
Masyarakat internasional kemudian melihat kebutuhan untuk membuat kodifikasi hukum internasional tentang perjanjian internasional. Upaya kodifikasi tersebut menghasilkan tiga insturumen hukum perjanjian internasional yang penting, yaitu :
1) Konvensi Wina 1969, tentang hukum perjanjian internasional umum.
2) Konvensi Wina 1978, tentang suksesi negara yang menghormati perjanjian internasional.
3) Konvensi Wina 1986, tentang hukum perjanjian internasional antara negara dengan organisasi internasional atau organisasi internasional satu sama lain.
Diantara ketiga kodifikasi hukum internasional tersebut, Konvensi Wina 1969 merupakan instrumen yang paling terpenting karena mengatur prinsip-prinsip umum dalam hukum perjanjian internasional.
Salah satu pengaturan terpenting dalam Konvensi Wina 1969 adalah mengenai negara ketiga dalam hubungannya dengan sebuah perjanjian internasional. Perihal ketentuan tersebut, konvensi mengatur secara khusus dalam Bab III, Bagian Keempat dengan judul Treaties and Third States yang berisi lima pasal (Pasal 34-38).
Alasan pengaturan khusus mengenai negara ketiga dalam perjanjian didasari dari asas hukum yang dikenal dari hukum Romawi yaitu : Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt. Asas itu berarti bahwa suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangung jawaban.
Akan tetapi dalam prakteknya ternyata terdapat beberapa instrumen perjanjian internasional yang dapat memberikan hak dan kewajiban kepada pihak yang tidak terlibat dalam perjanjian. Piagam PBB pasal 2 ayat 6 adalah salah satu contohnya. Pasal tersebut menentukan bahwa negara yang bukan merupakan negara anggota PBB harus bertindak sesuai dengan ketentuan dalam piagam untuk menjaga perdamian dan keamana internasional. Pasal tersebut telah dipraktekan dalam kasus Pangeran Bernadotee (1949) yang terbunuh di Israel ketika menjadi perwakilan PBB untuk mengatasi konflik Israel-Palestina. Israel yang pada saat itu belum menjadi anggota PBB (berdasarkan pendapat Mahkamah Internasional/ICJ) dimintai pertangung jawaban untuk memberikan reparasi atas peristiwa tersebut.[3]
Perbedaan antara asas hukum dan praktek masyarakat internasional tersebut menjadi suatu hal yang harus dijabarkan secara lanjut mengapa hal itu bisa terjadi. Menurut Starke, terdapat dua cara yang dapat mengakibatkan negara ketiga menjadi terikat pada suatu perjanjian internasional; pertama, terdapat asas yang mengecualikan prinsip “pacta tertiis” sehingga negara ketiga dapat menikmati hak dan dibebani kewajiban atas dasar suatu perjanjian. Kedua, adanya hubungan antara perjanjian internasional dengan hukum kebiasaan internasional yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga.[4]
B. Permasalahan
Berdasarkam uraian yang telah dikemukan dalam latar belakang di atas, maka penulis dalam makalah ini akan mengangkat permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana status negara ketiga dalam sebuah perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969?
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Tipologi Perjanjian Internasional
Menurut Rossene, untuk memahami Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional dengan baik, maka harus disertakan juga dengan membaca komentar dari International Law Commission (ILC) karena sebelum disahkan menjadi sebuah konvensi, ILC telah melakukan pembahasan yang cukup panjang mengenai substansi konvensi.[5]
Konvensi Wina 1969 yang baru mulai berlaku pada 27 februari 1980 terdiri dari Pembukaan, delapan bab, 85 pasal serta tujuh pasal tambahan (annexs). Konvensi ini merupakan instrumen yang memiliki tujuan untuk memformulasikan bagaimana membentuk perjanjian internasional bukan pada kewajiban yang timbul dari instrumen tersebut.[6]
Definisi perjanjian internasional diatur dalam pasal 2 ayat 1 butir a, yaitu:
treaty means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation
Perjanjian internasional diartikan sebagai kesepakatan antarnegara dalam bentuk tertulis yang diatur berdasarkan hukum internasional baik berbentuk instrumen tunggal maupun lebih dan memiliki tujuan tertentu. Definisi itu secara rinci memberikan unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh setiap negara untuk membuat perjanjian internasional.
Tipologi perjanjian internasional dapat dilakukan dengan dua klasifikasi, yaitu pertama berdasarkan bentuk perjanjian. Kedua, berdasarkan isi perjanjian. Bentuk perjanjian dapat dibedakan antara perjanjian bilateral dan multilateral. Sedangkan yang multilateral dibagi menjadi dua, yaitu perjanjian regional dan universal. Kedua bentuk perjanjian tersebut terpenuhi menjadi perjanjian internasional karena memenuhi ketentuan dalam pasal 1 konvensi Wina 1969.[7]
Jika dilihat isi perjanjian maka dapat dibedakan menjadi dua yaitu treaty contract (traite-contract) dan law making treaty (traite-loi). Yang pertama merupakan tipe perjanjian yang hanya mengikat para pihak yang membuatnya saja sedangkan yang kedua adalah perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Pembagian ini merupakan sumbangan pemikiran seorang sarjana dari Jerman yaitu Triepel yang kemudian diikuti oleh banyak sarjana hukum.[8]
Mochtar Kusumaatmadja meskipun memahami alasan adanya pembedaan berdasarkan substansi tersebut, namun ia tidak sepakat dengan pendapat beberapa sarjana di atas. Menurut beliau, istilah yang digunakan kurang tepat. Sebab apabila ditinjau dari secara yuridis menurut bentuknya setiap perjanjian baik yang dinamakan law making treaty maupun treaty contract adalah suatu kontrak, yaitu suatu perjanjian atau persetujuan antara para pihak yang mengadakannya dan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban bagi para pesertanya. Sedangkan apabila dilihat dari segi fungsinya sebagai sumber hukum dalam arti formal, setiap perjanjian apapun bentuknya akan menimbulkan hukum.[9]
Beliau kemudian menambahkan bahwa tidak hanya law making treaty saja yang menimbulkan kaidah hukum bagi semua anggota masyarakat internasional dan tidak hanya bagi para peserta perjanjian, treaty contract pun bisa menimbulkan kaidah hukum bagi masyarakat internasional yaitu melalui tahapan hukum kebiasaan internasional. Meskipun tahapan suatu kaidah untuk menjadi kebiasaan hukum internasional cukup rumit, beliau tidak mempersoalkannya. Atas asumsi tersebut, beliau kemudian menyatakan bahwa pembedaan tersebut sia-sia. Pembedaan tersebut bagi Mochtar dapat digunakan sebagai penambah pengertian mengenai fungsi perjanjian.[10]
Tipologi perjanjian internasional berdasarkan materi perjanjian tersebut sebenarnya diadopsi oleh ketentuan Konvensi Wina 1969. Pasal 31 ayat 1[11] serta Pasal 38[12] konvensi dapat dianggap sebagai pengadopsian law making treaty, sedangkan Pasal 34[13] merupakan ketentuan yang secara tegas megadopsi jenis treaty contract yang mengatur bahwa suatu perjanjian hanya mengikat para pihak saja.
Ada pendeketan menarik yang diajukan oleh Fitzmaurice tentang klasifikasi perjanjian internasional yakni berdasarkan tangung jawab yang dipikul oleh sebuah perjanjian internasional. Pendapat tersbut beliau sampaikan dalam ILC dalam rangka pembahasan rancangan konvensi Wina 1969.
Fitzmaurice membagi perjanjian menjadi perjanjian multilateral dan bilateral, Perjanjian multilateral kemudian ia bedakan menjadi tiga berdasarkan tangung jawab yang dipikul para peserta perjanjian, yakni:
1) Perjanjian yang memiliki tangung jawab timbal-balik (reciprocal)
2) Perjanjian yang memiliki tangung jawab integral (intergral)
3) Perjanjian yang memiliki tangung jawab saling ketergantungsn (interdependent)[14]
Maksud pembedaan ini menurut Fitzmaurice adalah untuk melihat apakah sebuah perjanjian internasional memiliki beban tangung jawab timbal-balik atau tangung jawab bersama diantara peserta perjanjian? konsekuensi dari pembedaan ini adalah cukup luas, salah satunya berkaitan dengan hak dan tangung jawab dari negara ketiga.
Perjanjian multilateral yang memiliki tanggunjawab timbal balik, seperti Konvensi Wina 1961/1963 tentang hubungan diplomatik dan konsuler, hanya memiliki tangung jawab diantara para pesertanya saja. Perjanjian ini pun hanya bersifat bilateral yaitu kewajiban yang harus dilakukan hanya mengikat dua negara saja yang melakukan hubungan diplomatik dan konsuler, meskipun perjanjian tersebut berbentuk perjanjian multilateral.
Perjanjian multilateral yang memiliki tangung jawab integral, seperti Konvensi Genosida 1948, memiliki tangung jawab yang sama diantara para pesertanya berdasarkan objek dan tujuan perjanjian. Bahkan, perjanjian yang ia kategorikan seperti ini dapat mengikat pihak yang tidak ikut serta dalam perjanjian karena dianggap memiliki kewajiban erga omnes.
Perjanjian multilateral yang memiliki tangung jawab interdependent, seperti konvensi tentang pelucutan senjata, memiliki tangung jawab yang hampir sama dengan perjanjian integral. Perbedaanya adalah tangung jawab yang harus dilaksanakan oleh setiap peserta menuntut prestasi yang sama oleh peserta yang lain. Hubungannya dengan negara ketiga adalah perjanjian jenis ini hanya mengikat mereka jika mereka sanggup untuk melaksanakan tangung jawab yang sama seperti peserta perjanjian yang lain.[15]
Reuter memiliki pembagian yang lain. Ia membagi perjanjian internasional menjadi dua berdasarkan materi pasal di dalam perjanjian, yaitu:
1) Materi perjanjian yang mengatur tentang mekanisme operasional perjanjian.
seperti; penutupan perjanjian, kesepakatan mengenai prinsip-prinsip yang berlaku bagi peserta, tahapan perjanjian seperti kesimpulan, instrumen, penyimpanan naskah, tanggal berlaku, pendaftaran, amandemen, jangka waktu perjanjian, perubahan.
2) Materi perjanjian yang mengatur tentang hal-hal substantif.
Yaitu berkaitan dengan diluar materi yang diatur dalam materi operasional.[16]
B. Negara Ketiga dalam Konvensi Wina 1969
Ketentuan yang mengatur dan erat kaitanya dengan definisi negara ketiga terdapat dalam pasal 2 ayat 1 konvensi, yaitu :
1. third State means a State not a party to the treaty” (butir h)
2. party means a State which has consented to be bound by the treaty and for which the treaty is in force” (butir g)
3. contracting State means a State which has consented to be bound by the treaty, whether or not the treaty has entered into force” (butir f)
4. negotiating State means a State which took part in the drawing up and adoption of the text of the treaty” (butir e)
Jika memperhatikan bunyi pasal tersebut terlihat jelas pengertian dari negara ketiga, yaitu negara yang bukan pihak peserta perjanjian. Lalu siapakah yang dimaksud dengan pihak peserta perjanjian? yaitu negara yang telah mengikatkan diri terhadap perjanjian hingga saat perjanjian tersebut berlaku. Kesimpulan yang bisa ditarik adalah negara yang hanya ikut bernegosiasi dan negara yang hanya melakukan kontrak sebelum perjanjina berlaku, dapat tercakup dalam kategori negara ketiga, karena batasan yang digunakan oleh butir h adalah pihak peserta; yaitu pihak yang mengikatkan diri hingga perjanjian berlaku.[17]
Meskipun negara yang melakukan kontrak (contracting state) dan negara yang ikut negosiasi (negotiating state) merupakan negara ketiga, akan tetapi mereka tetap menikmati beberapa hak dari peserta perjanjian maupun dari perjanjian itu sendiri.[18] Terdapat beberapa ketentuan dalam konvensi Wina 1969 yang mengatur bagi contracting state yaitu, Pasal 40 ayat 2 :
Any proposal to amend a multilateral treaty as between all the parties must be notified to all the contracting States, each one of which shall have the right to take part in:
(a) the decision as to the action to be taken in regard to such proposal;
(b) the negotiation and conclusion of any agreement for the amendment of the treaty.”
Pasal 18 ayat b memberikan tanggung jawab bagi contracting state untuk tidak melanggar tujuan dan obyek dari perjanjian hingga perjanjian tersebut menjadi mengikat.[19] Sedangkan bagi negara negotiating state, terdapat hak dan tangung jawab yang berbeda dengan contracting state, yaitu apabila ia tidak menjadi peserta perjanjian maka ia terlepas dari tangung jawab yang harusnya ia terima berdasarkan konvensi.[20]
Definisi negara ketiga berdasarkan konvensi dapat kita simpulkan sebagai berikut. Pertama, negara yang tidak menjadi peserta perjanjian. Kedua, negara yang hendak menjadi peserta (contracting state atau negotiating state).
C. Negara Ketiga dan Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina, 1969
Pengaturan tentang negara ketiga dalam konvensi diatur secara khusus dalam Bab III, Bagian keempat, Pasal 34-38. Pasal 34 dengan tegas menganut asas Pacta Tertiss Nec Nocent Nec Prosunt, yang menandakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi pihak-pihak pada perjanjian itu saja dan tidak mengikat bagi pihak ketiga. Bagi pihak ketiga, perjanjian yang telah dibuat oleh pihak lain, baik negara maupun organisasi internasional, baginya hanya merupakan kepentingan pihak lain atau res inter allios acta.[21]
Bunyi klausul dalam Pasal 34, jika dikaitkan dengan adanya hak dan kewajiban yang ditanggung oleh negara ketiga, bukanlah sesuatu yang absolut. Pasal itu hanya menerangkan bahwa perjanjian tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga tanpa ada kesepakatan.[22] Dengan demikian, hak dan kewajiban negara ketiga atas suatu perjanjian dapat timbul (laten atau potensi), dengan persyaratan tertentu, yaitu kesepakatan dari negara ketiga.
Reuter mengemukakan lain, baginya adanya hak dan kewajiban yang timbul bagi negara ketiga merupakan persoalan prosedural dan bukan persoalan substantif.[23] Sehingga hak dan kewajiban yang timbul bagi negara ketiga tidak memiliki efek hukum. Analisa Reuter ini bertentangan dengan konvensi, karena dalam konvensi diatur tidak hanya mengenai mekanisme proseduralnya saja melainkan juga efek hukum yang diterima oleh negara ketiga setelah timbul hak dan kewajibannya.
Pasal 35-37 Konvensi Wina 1969 secara tersurat memperlihatkan bahwa asas Pacta tertiis nec nocent nec prosunt, tidak lagi menjadi sesuatu yang bersifat absolut. Pasal 35 yang membahas mengenai hal adanya kewajiban dari suatu perjanjian bagi negara ketiga misalnya. Negara ketiga dengan demikian hanya akan memiliki kewajiban bilamana telah menyatakan kesepakatnya secara tegas dalam bentuk tertulis untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang bersangkutan.[24]
Berdasarkan komentar ILC terdapat persyaratan dari negara ketiga atas suatu kewajiban, yaitu:
a) Para peserta perjanjian memiliki kehendak untuk memberikan kewajiban kepada negara ketiga menurut ketentuan yang mungkin terdapat dalam perjanjian.
b) Negara ketiga harus menyatakan persetujuaanya dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan persyaratan tersebut maka dibuatlah perjanjian jaminan (collateral agreement) antara sesama peserta dan antara peserta dengan negara ketiga. Jadi dasar hukum terikatnya negara ketiga atas perjanjian bukanlah berdasarkan perjanjian tersebut akan tetapi berdasarkan perjanjian jaminan.[25]
Pasal 36 menetapkan bahwa bilamana dikehendaki oleh para peserta suatu perjanjian dapat memberi hak kepada negara ketiga atau kelompok negara ; dan negara-negara tersebut dalam menjalankan hak-nya harus taat pada tata cara seperti yang ditetapkan dalam perjanjian yang bersangkutan.[26] Pasal 36 ini menganut prinsip umum kesepakatan. Kalimat dalam Pasal 36 ayat 1 yang berbunyi: “…its assent shall be presumed so long as the contrary is not indicated, unless the treaty otherwise provides.”. diartikan jika perjanjian mengatur tentang formulasi bagaimana negara ketiga atau kelompok negara mengajukan persetujuannya maka hal tersebut harus dilakukan, namun jika tidak maka bentuknya harus berdasarkan kesepakatan.[27]
Menurut komentar ILC terdapat dua persyaratan agar negara ketiga dapat menikmati hak berdasarkan perjanjian, yaitu:
a) Para peserta perjanjian memiliki kehendak untuk memberikan hak kepada negara ketiga menurut ketentuan yang mungkin terdapat dalam perjanjian.
b) Terdapat persetujuan (assent) dari negara yang medapatkan keuntungan (beneficiaries) tersebut.
Tindakan persetujuan ini melahirkan dua pendapat yang berbeda, pertama, persetujuan dianggap sebagai penerimaan penawaran negara ketiga atas tawaran negara peserta perjanjian. Kedua, hak tersebut hanyalah merupakan indikasi yang tidak bisa diklaim oleh negara ketiga.
Pendapat bahwa hak tersebut merupakan suatu indikasi melahirkan dua pendapat berbeda mengenai dasar hukum mengikatnya negara ketiga atas suatu perjanjian, yaitu:
1) Perjanjian jaminan (collateral agreement)
2) Stipulation pour autroi (hak yang telah dinyatakan dalam perjanjian dan berlaku secara langsung (immediate)
Menurut De Arechaga, bahwa dalam praktek hukum internasional, negara ketiga memiliki hak menurut suatu perjanjian didasarkan atas stipulation pour autroi. Hal tersebut menurutnya karena hak negara ketiga telah dinyatakan dalam perjanjian.
Acceptance is not expression of consent to second agreement but its ab act appropriating of right derived from the treaty which contains stipulation in favour of third states. The third beneficiaries is not supposed to ratify, adhere or acced to the treaty but merely to appropriate or renounce the rights stipulated in its favour.”[28]
Dalam praktek masyarakat internasional (putusan pengadilan), pendapat De Arechega tidak diakomodir. Putusan pengadilan tentang Free Zone of Upper Savoy and The District of Gex Case, 1815, antara Swiss dan Perancis memutuskan bahwa :
1) Pengaturan hak kepada negara ketiga dalam perjanjian tidak dapat dinggap ringan (lightly presumed)
2) Setiap kasus perjanjian tidak dapat diberlakukan aturan yang sama karena tiap kasus memiliki unsur-unsur yang berbeda.
3) Terdapat keinginan dari negara peserta untuk menciptakan hak tersebut.
4) Harus terdapat kesepakatan dari negara ketiga.[29]
Berdasarkan ketentuan pasal 35 dan 36, konvensi Wina bermaksud melindungi negara-negara ketiga dari kemungkinan pembebanan kewajiban yang sewenang-wenang. Selain itu, yang berkaitan dengan hak, konvensi juga bermaksud untuk melindungi peserta perjanjian dari kemungkinan bahwa negara-negara bukan peserta dapat melampaui hak yang diperolehnya dari para peserta sedemikian rupa, sehingga mengurangi wewenang para peserta sendiri atas perjanjian yang mereka bentuk.[30]
Pasal 37 terdiri dari dua ayat yang masing-masing mengatur perubahan atas suatu kewajiban dan hak bagi negara ketiga. Ketentuan pasal tersebut setarikan nafas dengan pendapat dari O’Connell yang menyatakan bahwa :
Once obligations or rights have occurred they can only be revoked or modified with the consent of all state concerned.”[31]
Pasal 37 ayat 1 menyatakan dengan eksplisit bahwa perubahan perjanjian yang membebani negara ketiga dengan kewajiban, mutlak memerlukan persetujuan timbal balik. Sedangkan dalam ayat 2 berbunyi agak lain, yakni pengaturan perubahan suatu hak tidak dapat dilaksanakan tanpa persetujuan negara ketiga yang memperoleh hak tersebut kecuali perjanjian telah menentukan demikian dalam perjanjian.[32] Berdasarkan komentar ILC, bahwa pasal tersebut dibuat dengan maksud agar negara-negara peserta suatu perjanjian tidak enggan untuk memberikan hak kepada negara ketiga hanya karena mereka khawatir bahwa negara ketiga dapat melampaui wewenangnya.[33]
Pasal 38 mengatur hak dan kewajiban bagi negara ketiga secara berbeda. Ketentuan ini menyatakan bahwa hak dan kewajiban negara ketiga lahir atas sebuah perjanjian internasional berdasarkan hukum kebiasaan internasional.
Nothing in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty from becoming binding upon a third State as a customary rule of international law, recognized as such.”
Pasal ini secara tersirat ingin menyatakan bahwa dalam hukum internasional ternyata tidak hanya perjanjian saja yang memainkan peranan penting, akan tetapi kebiasaan internasional juga ikut mengambil bagian untuk menciptakan aturan dan norma dalam hukum internasional.
Hubungan antara perjanjian internasional dan kebiasaan internasional memiliki beberapa bentuk. Pertama, perjanjian dapat dianggap berasal dari kebiasaan yang telah ada sebelumnya. Kedua, perjanjian internasional dapat menjadikan tanda lahirnya suatu kebiasaan internasional baru melalui praktek negara. Ketiga, perjanjian multilateral dapat dianggap sebagai kristalisasi dari kebiasaan internasional yang telah dianggap umum.[34]
Sedangkan definisi kebiasaan internasional masih terdapat beragam pendapat diantara para sarjana. Jika melihat Statuta ICJ pasal 38 ayat 1, dinyatakan bahwa “international custom, as evidence of general practice accepted as law.” artinya adalah hukum kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.[35]
Berdasarkan bunyi statuta ICJ tersebut maka kebiasaan internasional dapat dijadikan sebagai sesuatu yang mengikat apabila memenuhi dua unsur, yaitu: unsur material dan unsur psikologis. Unsur material tercapai apabila adanya suatu kebiasaan atau pola tindak yang berlangsung lama dan merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. Selain itu kebiasaan atau pola tindak itu harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Unsur psikologis terpenuhi apabila kebiasaan internasional dirasakan memenuhi seluruh kaidah atau kewajiban hukum (opinion juris sive necessitatis)[36]
Berdasarkan keputusan ICJ dalam North Sea Continental Shelf Case, 1969, dinyatakan bahwa untuk dapat dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional, maka suatu aturan dalam perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a) Memiliki karaktek dasar menciptakan norma
b) Talah diakui oleh masyarakat internasional (corpus)
c) Telah memenuhi unsur opinio juris[37]
Penjelasan yang dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana suatu negara ketiga dapat terikat oleh sebuah perjanjian internasional berdasarkan hukum kebiasaan internasional, dapat dilihat dari Prinsip-prinsip London yang menyatakan bahwa:
“…states do in pursuance of their treaty obligations is prima facie referable only to the treaty, and therefore does not count towards the formation of customary rules…But the conduct of parties to a treaty in relation to non-parties is not practice under the treaty, and therefore counts towards the formation of customary law.”[38]
Pendekatan yang digunakan dalam pasal 38 ini merupakan pendekatan rezim objektif (objective rezime). Pendekatan ini melihat bahwa terikatnya negara ketiga atas perjanjian internasional berdasarkan unsur objektif. Objektifitas di sini dapat diartikan dengan bahwa hak dan kewajiban yang terdapat dalam perjanjian itu bersifat erga omnes, sehingga semua negara, baik peserta ataupun tidak, memiliki hak dan tangung jawab terikat dengan tujuan perjanjian.
D. Contoh Kasus Hukum dan Non Hukum
1. Wimbledon Case
Kasus ini merupakan menganai status hukum dari terusan Kiel. Terusan ini masuk melewati Jerman untuk menuju Laut Baltik dan Laut Utara. Status hukum melintasi terusan Kiel telah dinyatakan dalam Perjanjian Versailes 1919, Pasal 380-386, di mana Jerman bukanlah peserta perjanjian itu. Pasal 380 menyatakan :
The Kiel Canal and approaches shall be maintained free and open to vessels of commerce and of war of all nations at peace with Germany and on terms of entire equality.”
Kasus bermula ketika Kapal Dagang Inggris ( Wimbledon) yang disewa oleh Perancis untuk mengangkut amunisi ke Polandia dilarang masuk ke terusan Kiel oleh pemerintah Jerman, dengan alasan jika ia memberikan izin kapal tersebut melintas maka akan merusak status Jerman sebagai negara netral dalam perang antara Polandia dan Rusia. Polandia, Inggris dan Perancis membawa Jerman ke PCIJ karena dianggap telah melakukan tindakan yang salah.
PCIJ kemudian memutuskan bahwa tindakan Jerman tidak tepat melarang Kapal Wimbledon untuk melintas. Meskipun Jerman tidak ikut dalam Perjanjian Versailes, tetapi ia memiliki kewajiban berdasarkan kebiasaan internasional bahwa terusan Kiel merupakan perairan internasional sehingga semua kapal dapat melintasi terusan tersebut. Perjanjian netralitas antara Jerman dan Rusia merupakan suatu prinsip dalam hukum internasional. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan Jerman untuk melarang setiap kapal melewati terusan tersebut yang telah diberikan perjanjian Versailes.[39]
2. UNCLOS 1982
Konvensi Hukum Laut 1982 khususnya mengenai ketentuan hak lintas transit tidak mengatur secara tegas mengenai hak negara ketiga. Meskipun demikian, pada Pasal 38(1) ditemukan ungkapan, “...all ships and aircraft enjoy the right od transit passage…” Pernyataan atau makna “all ships and aircraft” berarti bahwa semua kapal laut dan pesawat udara baik negara peserta maupun negara ketiga.[40]
Pidato Duta Besar Peru, Arias Schreiber menyatakan bahwa, “no state can claim that new rules and rights established under the convention apply to that state if it’s not a party to the convention”.[41] Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa hak tersebut timbul hanya karena perjanjian. Padahal hak lintas merupakan sebuah kebiasaan bagi masyarakat internasional meskipun dengan syarat-syarat tertentu. Pernyataan yang dibacakan oleh Arias, bertentangan dengan hukum kebiasaan internasional.
Pendekatan yang digunakan oleh Arias adalah pendekatan “Package Deal” yang dibuat oleh negara berkembang yang membentuk kelompok 77. Alasan yang digunakan adalah untuk melindungi kepentingan dari negara pantai, dimana banyak dari negara berkembang yang memilik wilayah pantai, termasuk Indonesia
Pada akhirnya, hak negara ketiga untuk melintas dapat diberikan dengan sangat terbatas apabila negara peserta perjanjian memberikan kesepakatannya untuk memberikan hak tersebut kepada negara ketiga tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka kesimpulan dari penulisan ini adalah:
1. Asas Pacta tertiss nec nocent nec procunt bukanlah asas yang absolut dalam konvensi Wina 1969. Hal ini dikarenakan konvensi sendiri menyatakan bahwa negara ketiga dapat memiliki hak dan kewajiban atas suatu perjanjian internasional.
Negara ketiga dalam pengertian konvensi Wina adalah negara bukan peserta perjanjian, negara kontrak (contracting state) dan negara yang melakukan negosiasi (negotiating state)
Terikatnya negara ketiga atas sebuah perjanjian internasional dilandaskan beberapa teori; yaitu Pertama, Perjanjian Jaminan (Collateral Agreement). Kedua, stipulation pour autroi. Ketiga; Rezim Objektif (Objective Regime)



[1] Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional: Bunga Rampai, Alumni, Bandung, 2003, hlm, 105.


[2]Budiono Kusumohamidjojo, Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, hlm,2.


[3] D.J. Harris, Cases and Materials on International Law, Fifth Edition, Sweet & Maxwell, London, 1998, hlm., 224.


[4] J.G. Starke, Intoduction to International Law, Butterworths, London, 1977, hlm., 445.


[5] Shabtai Rossene, The Perplexities of Modern International Law, Martinus Nijhoff Publishers, Netherlands, 2004, hlm., 348.


[6] ibid.


[7] Pasal 1 Konvensi Wina 1969 : “The present Convention applies to treaties between States.”


[8] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kedua, Alumni, Bandung, 2003, hlm.,122. Lihat juga, Shabtai Rossene, op.cit., hlm. 355.


[9] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R.Agoes, ibid., hlm 124.


[10] ibid., Bandingkan juga dengan Shabtai Rossene. Ia juga melihat pembedaan berdasarkan materi perjanjian tidak cukup jelas dan tidak cukup berguna., ibid, hlm.355.


[11] “….to the terms of the treaty in their context and in the light of its object and purpose


[12]Nothing in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty from becoming binding upon a third State as a customary rule of international law, recognized as such.”


[13]A treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent.”


[14] Joost Pauwelyn, A Typology of Multilateral Treaty Obligations: Are WTO Obligations Bilateral or Collective in Nature?, EJIL, Vol.14, No.5, 2003, hlm., 911.


[15] Ibid., hlm., 912-913


[16] P. Reuter, “The Operational and Normative Aspect of Treaties”, Israel Law Review, Vol. 20, 1985, hlm.123.


[17] Malgosia Fitzmaurice, “Third States and Treaties”, dalam J.A. Frowein dan J. Wolfrum (eds), Max Planck Yearbook of United Nations Law, Vol.6, Kluwer Law Internasional, Netherland, 2002, hlm.,39.


[18]The provisions of a treaty regulating the authentication of its text, the establishment of the consent of States to be bound by the treaty, the manner or date of its entry into force, reservations, the functions of the depositary and other matters arising necessarily before the entry into force of the treaty apply from the time of the adoption of its text.” (Pasal 24 ayat 4)


[19]A State is obliged to refrain from acts which would defeat the object and purpose of a treaty when: (b) it has expressed its consent to be bound by the treaty, pending the entry into force of the treaty and provided that such entry into force is not unduly delayed.”


[20]preparing certified copies of the original text and preparing any further text of the treaty in such additional languages as may be required by the treaty and transmitting them to the parties and to the States entitled to become parties to the treaty” (butir b)
informing the parties and the States entitled to become parties to the treaty of acts, notifications and communications relating to the treaty (butir e)
informing the States entitled to become parties to the treaty when the number of signatures or of instruments of ratification, acceptance, approval or accession required for the entry into force of the treaty has been received or deposited (butir f)


[21] Yudha Bhakti Ardhiwisastra, op..cit., hlm. 152.


[22]A treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent.”


[23] P. Reuter, op.cit., hlm124-125.


[24]An obligation arises for a third State from a provision of a treaty if the parties to the treaty intend the provision to be the means of establishing the obligation and the third State expressly accepts that obligation in writing.”


[25] Malgosia Fitzmaurice, op.cit., hlm. 47.


[26] Budiono Kusumohamidjojo, op.cit, hlm. 30.


[27] Malgosia Fitzmaurice, op.cit., hlm.46.


[28] Id., hlm. 50-51.


[29] Id., hlm.52.


[30] Loc.cit.


[31] D.P. O’Conell, International Law, Vol.1, Stevens and Sons, London, 1970, hlm. 246, lihat juga Budiono, ibid.


[32]When an obligation has arisen for a third State in conformity with article 35, the obligation may be revoked or modified only with the consent of the parties to the treaty and of the third State, unless it is established that they had otherwise agreed.” (Pasal 37 ayat 1)
When a right has arisen for a third State in conformity with article 36, the right may not be revoked or modified by the parties if it is established that the right was intended not to be revocable or subject to modification without the consent of the third State.” (Pasal 37 ayat 2)


[33] Budiono Kusumohamidjojo, loc.cit., hlm.31.


[34] London Agreement, 1921. Lihat Malgosia Fitzmaurice, op.cit., hlm.58.


[35] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, op.cit. hlm.143.


[36] Id., hlm 145.


[37] Malgosia Fitzmaurice, op.cit. 59


[38] Ibid.


[39] Id., hlm., 84-87.


[40] Yudha Bhakti Ardhiwisastra, op.cit., 155


[41] Ibid,



Tidak ada komentar: