Rabu, 30 Juli 2014

Catatan atas Masalah Aktual dalam Perjanjian Internasional


I. Aliran di Indonesia : Dualisme atau Monisme?

Dalam praktek tidak perlu dipermasalahkan apakah Indonesia menganut faham monisme ataupun dualisme. Dalam praktek yang penting adalah kepentingan nasional. Masalah transformasi perjanjian internasional ke dalam hukum nasional tidak terkait dengan monoisme ataupun dualisme. Teori monoisme dan dualisme berlaku apabila ada pertentangan antara hukum nasional dan hukum internasional. Pertanyaannya adalah dalam situasi demikian mana yang harus berlaku?..

Bila dicermati masalah transformasi ketentuan dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional akan berlaku di banyak negara. Ini karena ketentuan dalam perjanjian interasional mengikat negara yang mengikuti, namun tidak berarti langsung mengikat warga yang berada di negara tersebut. Memang harus diakui ada perjanjian internasional yang langsung mengikat seperti Statuta Roma.

Oleh karenanya bila perjanjian internasional belum ditransformasi ke dalam hukum nasional, istilah di Indonesia dibuat dalam peraturan pelaksanaan, maka hakim ataupun aparat hukum belum bias menegakkannya. Tidak mungkin hakim menggunakan Perjanjian Internasional yang telah diikuti oleh Indonesia untuk mempersalahkan terdakwa.

Oleh karenanya setiap perjanjian internasional yang telah diikuti oleh Indonesia yang memuat kewajibannya untuk dilaksanakan ditingkat nasional (baik yang diratifikasi maupun tidak) perlu untuk diterjemahkan atau ditransformasikan ke dalam hukum nasional. Maka perjanjian internasional yang telah diikuti tidak berhenti sampai disitu. Pemerintah mempunyaikewajiban untuk menyisir berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia dan menemukan mana yang bertentangan dan mana yang belum diatur. Bila bertentangan maka perlu untuk dilakukan amandemen, sementara yang belum diatur perlu untuk dibuat aturannya. Sebagai contoh keikutsertaan Indonesia dalam UN Convention on Anti Corruption saat ini sedang dilakukan penerjemahan ke dalam hukum nasional. UU Tindak Pidana Korupsi yang berlaku akan diamandemenkan dan disesuaikan dengan UNCAC. Bila ada kasus yang menggunakan langsung UNCAC tentu ini tidak bisa dilakukan karena tidak mungkin terdakwa dijerat dengan perjanjian internasional. Bila ada ketentuan yang bertentangan antara UNCAC dengan UU TPK maka UU TPK yang berlaku karena UNCAC belum merupakan hukum positif di Indonesia.

Disamping itu, ada contoh lain perlunya peraturan pelaksanaan yaitu keberlakuan NY Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Mahkamah Agung tidak melaksanakan pelaksanaa putusan arbritase asing yang diminta setelah Indonesia meratifikasi pada tahun 1981 dengan alas an belum ada peraturan pelaksanaannya. Peraturan pelaksanaan ini penting karena memuat ketentuan pengadilan mana yang mempunyai wewenang untuk menerima dan mengabulkan permintaan putusan dan lain sebagainya. Barulah setelah diterbitkan Peraturan MA No. 1/1990 permohonan untuk melaksanakan putusan Arbitrase asing dapat dilakukan.

Perlu diperhatikan disini bahwa tidak ada kaitan antara instrument untuk meratifikasi suatu perjanjian internasional dengan peraturan perundang-undangan yang mentransformasikan ketentuan dalam perjanjian internasional. Instrumen untuk meratifikasi dalam UU Perjanjian Internasional ditentukan dapat berbentuk UU maupun Peraturan Presiden sesuai dengan criteria yang ditentukan. Instrumen ini yang harus disampaikan ke tempat yang menerima deposit untuk menandakan keikutsertaan Indonesia. Namun instrument ini tidak dapat digunakan untuk keberlakuan perjanjian internasional tersebut, sepanjang ketentuan yang ada belum diterjemahkan ke dalam hukum nasional.

Dalam konteks demikian, meskipun Indonesia telah meratifikasi WTO Agreement, ICCPR, dan banyak lagi, namun bila ketentuan ini belum ditransformasikan maka berbagai kewajiban tersebut tidak bisa dijalankan (enforced) di Indonesia. Ini merupakan kewajiban dari pemerintah mengingat pemerintah merupakan pemegang kekuasaan membuat peraturanperundang-undangan.

Jenis peraturan perundang-undangan yang akan digunakan pun akan tergantung dari materi yang ada dalam perjanjian internasional. Sebagai contoh bila ketentuan yang hendak ditransformasikan ternyata bertentangan dengan suatu UU maka jenis peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan adalah UU. Hal ini karena tidak mungkin ketentuan UU diubah dengan peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya. Namun bila belum ada ketentuan yang mengatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka pemerintah dapat lebih fleksibel dalam menentukan jenis peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, ketentuan yang mengatur anti-dumping sebagai pelaksanaan dari WTO Agreement diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah. Namun ketentuan yang mengatur tentang safeguard diatur dalam Keputusan Presiden.


II. Apakah Perjanjian Internasional perlu didefinisi ulang sehingga mencakup semua perjanjian yang bersifat Transnasional?

Perjanjian internasional tidak perlu didefinisi ulang. Perjanjian negara yang bersifat transnasional harus diperhatikan dengan baik karena disini negara mempunyai dua fungsi. Ini mengingat istilah transnasional merujuk pada objek permasalahan atau perjanjian yaitu sepanjang lintas batas. Padahal dalam perjanjian transnasional tercakup perjanjian internasional dan kontrak bisnis internasional yang berdimensi public.
Perjanjian internasional tentu harus merujuk pada Konvensi Wina. Sementara untuk kontrak bisnis internasinal yang berdimensi public melihat negara dalam fungsinya sebagai pedagang atau iure gestionis.
Kalaupun di Indonesia pernah ada kesalahan maka kesalahan tersebut tidak dapat dijadikan preseden mengingat secara teori tidak dapat dibenarkan. Negara harus dibedakan secara tegas apakah sebagai institusi public (iure imperii) atau sebagai subyek hukum perdata (iure gestionis). Prosedur sebagai iure imperii dan iure gestionis tidak dapat dicampur-adukkan.

III. Apakah Loan Agreement adalah Perjanjian Internasional?

Bergantung dengan siapa pemerintah Indonesia membuat loan agreement, maka loan agreement bias merupakan kontrak bisnis internasional yang berdimensi public atau perjanjian internasional.
Bila pihak ketiga yang membuat perjanjian dengan pemerintah Indonesia adalah subyek hukum perdata (commercial bank, misalnya) maka perjanjian merupakan kontrak bisnis internasional yang berdimensi public. Sementara bila pihak ketiga yang membuat perjanjian dengan pemerintah Indonesia adalah subyek hukum internasional, seperti negara atau organisasi internasional, maka loan agreement akan masuk dalam kategori perjanjian internasional.

a. Perjanjian PLN berupa Kontrak Bisnis yang Berdimensi Publik

Dalam lapangan Hukum Perjanjian (yang merupakan subcabang dari hukum perdata) maka perjanjian dimana salah satu pihaknya adalah Negara akan disebut sebagai “Kontrak Bisnis yang Berdimensi Publik (Government Contract)”. Istilah ini mengindikasikan bahwa sifat hubungan yang dilakukan adalah perdata namun karena salah satu pihaknya adalah pemerintah maka terdapat dimensi publiknya. Perancangan maupun penelaahan terhadap perjanjian seperti ini harus memperhatikan hukum perdata maupun hukum public. Salah satu konsekuensi hukum adalah apabila ada cidera janji oleh Negara maka sengketa tidak diajukan ke peradilan administrasi melainkan kepada peradilan perdata yang dapat berupa pengadilan ataupun arbritase (tergantung dari kesepakatan para pihak).
Perlu juga dicatat bahwa dalam hukum perdata dikenal hukum perdata internasional, yaitu hukum perdata dimana terdapat elemen asing. Paralel dengan pemahaman tersebut, dalam perjanjian pun dikenal Kontrak Bisnis Internasional. Mengingat dalam transaksi bisnis sering juga Negara menjadi subyek hukum perdata, semisal pemerintah Indonesia membeli pesawat tempur dari perusahaan AS, maka ada juga “Kontrak Bisnis Internasional yang Berdimensi Publik”. Disini mengindikasikan bahwa suatu perjanjian mana terdapat elemen asing dimana salah satu pihaknya adalah Negara.

b. Perjanjian PLN berupa Perjanjian Internasional yang bersifat Perdata.

Masalah perjanjian sebenarnya tidak hanya dikenal dalam cabang ilmu hukum perdata. Perjanjian juga dikenal dalam cabang ilmu hukum internasional (public). Bahkan dalam hukum internasional salah satu sumber hukum yang terpenting adalah perjanjian. Perjanjian dalam hukum internasional sering disebut sebagai perjanjian internasional yang harus dibedakan dengan istilah kontrak (bisnis) internasional. Perjanjian internasional dilakukan oleh subyek-subyek hukum yang dikenal dalam cabang ilmu hukum internsional. Dua subyek hukum internasional yang sangat menonjol untuk melakukan perjanjian yaitu Negara dan Organisasi Internasional. Perjanjian ini mengatur berbagai hal yang sangat variatif, mulai dari masalah tapal batas, pengaturan perdagangan internasional, ekstradisi hingga kerjasama antar negara untuk memerangi terorisme. Perjanjian dapat bersifat bilateral maupun multilateral tergantung dari jumlah pesertanya.

Selanjutnya, klasifikasi Perjanjian Internasional dapat dilakukan atas dasar materi yang diatur. Paling tidak ada dua klasifikasi yang penting dalam perjanjian internasional bila melihat substansi yang diatur. Pertama adalah Perjanjian Internasional (PI) yang bersifat public dan kedua adalah PI yang bersifat Perdata. Adapun yang dimaksud dengan PI yang bersifat public adalah PI dimana Negara menjalankan fungsinya sebagai institusi public (iure imperii). Sementara PI yang bersifat perdata adalah PI dimana Negara menjalankan fungsinya sebagai institusi perdata (iure gestionis). Perjanjian tapal batas, pengaturan perdagangan internasional dan ekstradisi masuk dalam kategori PI yang bersifat public. Sementara PI yang bersifat perdata adalah PI pinjam-meminjam antar negara, bahkan transaksi perdata yang dilakukan antar pemerintah.

Karena ada perbedaan klasifikasi berdasarkan substansi PI ini beberapa konsep maka dalam hukum internasional terimbas. Salah satunya adalah imunitas negara tidak lagi absolute. Imunitas untuk tidak dapat diadili di suatu negara berlaku untuk PI yang bersifat public. Penyelesaian sengketa ini biasanya dilakukan di forum internasional seperti International Court of Justice (bila disepakati oleh para pihak). Sementara untuk PI yang bersifat perdata tidak dikenal imunitas, atau imunitas akan diminta untuk dikesampingkan (baik secara diam-diam maupun tegas). Pengenyampingan terhadap imunitas secara tegas dituangkan dalam PI yang bersifat perdata melalui klausula “Waiver of Immunity”.

c. Penandatnganan perjanjian : Menteri Keuangan atau Menteri Luar Negeri?

Bila diperhatikan dua kategorisasi perjanjian yang telah diuraikan, yaitu Kontrak Bisnis yang Berdimensi Publik dan PI yang bersifat Perdata, maka muncul pertanyaan siapakah yang berwenang untuk menandatangani kedua kategori perjanjian tersebut.

Bila dirujuk UU 24 dan UU 17, maka tidak dapat dihindari bahwa ada kesan rancu. Kerancuan ini karena tidak membedakan secara rinci katagorisasi perjanjian PLN.

Lebih lanjut perumusan dalam Pasal 10 kurang akurat karena menggeneralisasi semua perjanjian internasional tanpa membedakan antara PI yang bersifat public dan yang bersifat perdata. Seharusnya pembentuk UU mengenali perbedaan ini sehingga ada pembedaan siapa yang harus menandatngani perjanjian. Dugaan kami pembedaan ini tidak dilakukan karena RUU disiapkan oleh Departemen Luar Negeri sehingga ada pembedaan siapa yang harus menandatangani perjanjian. Dugaan kami pembedaan ini tidak dilakukan karena RUU disiapkan oleh Departemen Luar negeri sehingga apapun perjanjian internasional harus ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri. Bila ini yang terjadi maka terjadi perubahan drastic dari praktek selama ini sehubungan dengan perjanjian PLN yang berupa PI yang bersifat perdata.
Ini tentunya bertentangan dengan UU 17 yang menyebutkan bahwa Menteri Keuangan mempunyai tugas melakukan perjanjian internasional dibidang keuangan. Perumusan UU 17 terjadi mungkin karena RUU dipersiapkan oleh Departemen Keuangan dan sekedar melembagakan apa yang selama ini terjadi.
Menurut hemat kami permasalahan ini dapat diselesaikan melalui kebijakan Presiden Terlebih lagi surat kuasa yang tidak ada jangka waktu oleh Menteri Luar Negeri kepada Menteri Keuangan yang dibuat pada Menlu Alwi Shihab masih berlaku.
Pada akhirnya yang penting untuk diperhatikan siapa yang berhak untuk mewakili Pemerintah. Menteri Keuangan ataupun Menteri Luar Negeri sama akan mewakili RI dalam perjanjian PLN.

IV. Apakah nomenclature membedakan bobot juridis suatu perjanjian internasional?

Penamaan atau nomenclature dari perjanjian internasional sama sekali tidak menentukan bobot juridis. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Konvensi Wina, instrument internasional ataupun peraturan perundang-undangan nasional.
Dengan demikian secara teknis perjanjian internasional dapat diberi nama Treaty, Convention, Covenant, Agreement, Protocol, bahkan Memorandum of Understanding (MoU). Hanya untuk yang terkahir perlu diperhatikan karena istilah ini mempunyai dua pengertian dan bukan karena penerapan di negara common law.
MoU secara teoritis merupakan ikatan moral, bukan ikatan hukum. Namun dalam praktek kerap tidak dibedakan antara ikatan moral ataupun ikatan hukum. Hal penting untuk diperhatikan adalah melihat substansi. Apabila substansi berisi ikatan hukum bahkan diintensikan sebagai ikatan hukum maka MoU berisi harapan-harapan dan masih akan ditindklanjuti dengan ikatan hukum berupa perjanjian internasional maka MoU tersebut merupakan ikatan ikatan moral yang tidak dapat mempunyai dampak sebagai perjanjian internasional.

V. Apakah lembaga negara di luar eksekutif (MA, BPK, DPR) dapat membuat perjanjian internasional?

Lembaga negara di luar Presiden tidak dapat membuat perjanjian internasional yang mengikat Indonesia sebagai negara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 11 UUD 1945.
Namun lembaga-lembaga negara dapat membuat perjanjian dengan mitra dari lembaga-lembaga negara lain sepanjang tidak untuk kepentingan negara RI. Perjanjian demikian biasanya lebih untuk mempererat hubungan antar lembaga negara ataupun peningkatan kemampuan para personil ataupun pertukara informasi. Perjanjian demikian tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional.
Perjanjian demikian dapat disetarakan dengan perjanjian antar daerah di Indonesia dengan daerah di negara sahabat yang dikenal dengan nama sister agreement. Sifat agreement bukan merupakan perjanjian internasional karena tidak memenuhi syarat dalam Konvensi Wina.

VI. Apakah Sekjen ASEAN dapat membuat perjanjian dengan negara ketiga atas nama anggota ASEAN?

Sekjen ASEAN tidak dapat membuat perjanjian dengan negara ketiga atas nama anggota ASEAN. Sekjen ASEAN dengan ketentuan telah memenuhi setiap persyaratan yang ditentukan dalam Piagam ASEAN, dapat membuat perjanjian internasional dengan negara ketiga atau organisasi internasional lainnya sepanjang yang diikat adalah ASEAN sebagai legal capacity yang salah satunya adalah membuat perjanjian. ASEAN sebagai organisasi internasional tidak sama bahkan identik dengan negara-negara anggotanya yang juga memiliki international legal capacity.
Kalaupun Sekjen ASEAN yang menandatangani perjanjian internasional dengan negara atau organisasi internasional maka Sekjen sebagai perwujudan ASEAN sebagai organisasi internasional yang abstrak. Seperti sebuah negara, maka yang memiliki kewenangan untuk menandatangani perjanjian internasional adalah Presiden atau kepala pemerintahan. Dalam organisasiinternasional kewenangan untuk menandatangani perjanjian internasional diberikankepada Sekjen, seperti halnya PBB.

Sekjen ASEAN tentunya tidak berwenang, bahkan berada diluar otoritas, apabila ia menandatangani perjanjian nternasional dengan negara ketiga ataupun organisasi internasional yang mengatasnamakan negara anggotanya. Negara anggota memiliki kedaulatan dan mekanisme dalam konstitusi yang menentukan siapa yang dapat menandatangani perjanjian internasional. Bila Sekjen ASEAN melakukan hal tersebut maka dapat dipermasalahkan kewenangan dari Sekjen, bahkan keberlakuan dari perjanjian internasional yang dibuat.(Hikmahanto Juwana)

(Kutipan dari saepudinonline.wordpress.com)