Oleh : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH
Prof. Dr. Harun Al-Rasyid mengatakan bahwa UUD 1945 tidak mengenal lembaga ‘impeachment’. Saya mengatakan betul, karena ‘impeachment’ itu bahasa Inggeris. Tetapi, baik menurut kamus bahasa Inggeris maupun kamus-kamus hukum, ‘to impeach’ itu artinya memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban. Dalam hubungan dengan kedudukan Kepala Negara atau Pemerintahan, ‘impeachment’ berarti pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukannya dalam masa jabatan. Hampir semua konstitusi mengatur soal ini sebagai cara yang sah dan efektif untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berada di jalur hukum dan konstitusi. Dalam sistem parlementer, selalu diatur adanya hak parlemen untuk mengajukan ‘mosi tidak percaya’, meskipun diimbangi pula dengan kewenangan pemerintah untuk membubarkan parlemen menurut tata cara tertentu. Karena itu, masa kerja pemerintahan parlementer tidak ditentukan secara ‘fixed’. Sebaliknya, masa jabatan pemerintahan presidentil ditentukan secara ‘fixed’, biasanya 4 sampai 7 tahun. Karena jangka waktunya cukup lama, maka sebagai pengimbang, kepada parlemen diberikan hak untuk meminta pertanggungjawaban di tengah jalan.
Dengan begitu, negara yang mengidealkan prinsip supremasi hukum dapat terhindar dari kemungkinan dipimpin oleh seorang yang kemudian berubah menjadi ‘tiran’. Manusia memang bisa dan bahkan mudah berubah. Dari orang yang semula memenuhi syarat menjadi pemimpin berubah di tengah jabatannya menjadi orang yang lagi memenuhi syarat. Kalau sudah berada dalam kekuasaan, imanpun bisa berubah, ‘yazid au yanqush’. Seperti yang pernah dikatakan oleh Lord Acton, ‘power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely’. Itu sebabnya, semua sistem kekuasaan memerlukan kontrol dan pengimbang. Satu lembaga dengan lembaga lain diatur berdasarkan prinsip ‘check and balance’. Kalau kinerja seorang pemimpin tidak bisa lagi diperbaiki, ya harus dimungkinkan untuk diganti dengan yang lebih baik.
Walhasil, semua konstitusi negara modern mengenal mekanisme pemberhentian atau penggantian pemimpinnya di tengah jalan. Yang berbeda hanya jenis pelanggaran hukum yang dijadikan alasan untuk pendakwaan. Pelanggaran hukum yang dijadikan alasan itu ada yang bersifat pidana dan ada juga yang bersifat tata negara. Konstitusi Amerika Serikat Pasal 2 ayat 4 (treason, bribery or other high crimes, and misdemeanors), Konstitusi Argentina Pasal 52 (malfeasance or crime committed in exercise of their offices or for common crimes), Konstitusi Perancis Pasal 68 (only the case of high treason), dan Konstitusi Rusia Pasal 93 ayat 1 (treason or the commission of some other grave crime), misalnya, mengaitkannya dengan pelanggaran hukum pidana. Tetapi Konstitusi Jerman (Pasal 61 ayat 1) mengaitkan ‘impeachment’ itu, baik dengan pelanggaran tata negara maupun pidana, dan bahkan dengan semua bidang hukum: “The Bundestag or the Bundesrat may impeach the Federal President before the Federal Constitutional Court for wilful violation of this Basic Law or any other federal statute”. Presiden dapat di’impeach’, baik karena didakwa melanggar UUD ataupun UU Federal lainnya.
Batang Tubuh UUD 1945, memang tidak menyinggung soal ‘impeachment’ secara ‘letterlijk’. Karena itu, bagi orang yang berpendapat bahwa Penjelasan UUD 1945 bukan bagian dari UUD, maka dia cenderung berpendapat bahwa UUD 1945 tidak mengenal lembaga ‘impeachment’. Tetapi, pendapat seperti ini tentu saja hanya bersifat akademis, karena tokh sejak tahun 1959, sudah menjadi konvensi bahwa Penjelasan UUD 1945 itu dipakai sebagai satu kesatuan naskah konstitusi Republik Indonesia yang tidak terpisahkan dari Batang Tubuhnya. Penjelasan UUD menyatakan bahwa jika DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, Majelis dapat diundang untuk meminta pertanggungan jawab Presiden melalui persidangan istimewa. Karena itu, pengertian ‘impeachment’ yang dikenal di hampir semua negara konstitutional modern di dunia itu, jelas tidak bisa dianggap tidak ada dalam UUD 1945.
Hanya bedanya, jika naskah Konstitusi seperti di Amerika Serikat, Argentina, Perancis, dan Rusia mengaitkannya dengan pelanggaran tindak pidana, dan Konstitusi Jerman mengaitkannya baik dengan pelanggaran tata negara maupun pidana, maka Penjelasan UUD 1945 mengaitkannya hanya dengan pelanggaran ketatangeraan, yaitu Haluan Negara. Tetapi, yang dimaksud Haluan Negara disini, menurut Penjelasan UUD 1945, adalah Haluan Negara yang ditetapkan oleh UUD dan oleh MPR. Jadi, bukan GBHN dalam arti sempit, melainkan haluan-haluan penyelenggaraan negara yang ditetapkan dalam keseluruhan pengertian UUD, ataupun yang ditetapkan oleh MPR dalam bentuk Ketetapan-Ketetapan MPR, termasuk salah satunya adalah GBHN.
Tetapi, kalau ada orang yang tetap ngotot juga untuk tidak mau mengakui keabsahan Penjelasan UUD sebagai bagian tak terpisahkan dari UUD 1945, baiklah ikuti saja logikanya. Meskipun untuk masa depan kita dapat saja menyetujui penghapusan Penjelasan itu dari naskah konstitusi karena memang tidak lazim sebuah UUD mempunyai penjelasan, tetapi sebelum hal itu diputuskan semestinya Penjelasan itu tetap dianggap berlaku sebagai bagian dari konstitusi. Tetapi sekali lagi, mari kita ikuti logika yang anti ‘penjelasan’ itu, dengan hanya memegang ketentuan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945.
Pasal 8 itu menentukan: “Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya”. Pasal ini tidak mengatur soal ‘pemberhentian’, melainkan ‘penggantian’. Jika Presiden meninggal dunia ia dapat diganti karena mangkat. Jika Presiden berhenti secara sepihak seperti yang dilakukan Presiden Soeharto (bukan minta berhenti), maka ia dapat diganti karena menyatakan diri ‘berhenti’. Jika ia mengajukan permintaan berhenti atau mengajukan mengundurkan diri kepada MPR, maka MPR harus melakukan tindakan yang bernama ‘penggantian’, bukan ‘pemberhentian’. Karena Pasal 8 sekali lagi hanya mengatur soal penggantian, bukan pemberhentian.
Itu sebabnya TAP No.XXXIII/MPRS/1967 menetapkan Presiden Soekarno diganti oleh Jenderal Soeharto berdasarkan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 karena pertimbangan bahwa Presiden Soekarno tidak dapat melakukan kewajibannya, tidak dapat melaksanakan Haluan Negara sebagaimana ditetapkan oleh UUD dan MPRS. Presiden Soekarno bukan diberhentikan, melainkan diganti dengan Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Dengan logika demikian, berarti Pasal 8 itu menentukan bahwa apabila Presiden dinilai oleh MPR tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya, maka ia dapat diganti di tengah jalan. Alasan untuk mengganti Presiden tidak perlu karena terjadinya pelanggaran sebelumnya oleh Presiden. Meskipun Sidang Istimewa MPRS 1967 diadakan karena adanya memorandum DPRGR dan ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden, baik NAWAKSARA maupun pelengkapnya PELNAWAKSARA, tetapi TAP No.XXXIII/MPRS/1967 itu dirumuskan sangat ‘sopan’, sehingga tidak mengaitkan isinya dengan ‘hukuman’ terhadap pelanggaran yang dilakukan Presiden sebelumnya. Karena itu, bagi orang yang tidak mengakui keabsahan Penjelasan UUD, pengggantian Presiden Soekarno dianggap bukan ‘impeachment’ berdasarkan Penjelasan UUD 1945, tetapi hanya penggantian berdasarkan Pasal 8 UUD 1945.
Jadi, Presiden memang dapat diganti karena alasan tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya melalui prosedur yang jauh lebih sederhana. Presiden bisa dinilai tidak dapat melaksanakan kewajibannya karena berhalangan tetap seperti sakit, karena menghilang, karena tidak mampu, atau karena sebab-sebab lain yang membawa para anggota MPR sampai pada kesimpulan bahwa Presiden tidak dapat lagi melaksanakan kewajibannya. Juga tidak perlu ada proses yang ‘njelimet’ yang seharusnya dilakukan untuk menyelenggarakan persidangan istimewa yang bersifat khusus. Apalagi harus dimulai dengan memorandum pertama untuk 3 bulan dan memorandum kedua untuk 1 bulan seperti yang diatur dalam TAP No.VI/MPR/1973. Dan karena sifat persidangannya bukan ‘peradilan’ yang memerlukan peran lembaga penuntut (DPR) dan lembaga pemutus (MPR) dengan prosedur pembuktian kesalahan yang ketat, maka inisiatifnyapun cukup datang dari para anggota dan fraksi-fraksi di MPR saja melalui persidangan yang tidak perlu bersifat khusus pula. Mungkin beginilah kesimpulan yang ingin dikembangkan oleh teman-teman yang berpendapat bahwa UUD 1945 tidak mengenal ‘impeachment’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar