Selasa, 06 September 2011

HUKUM ANGKASA. Sebuah Pengertian

1. PENGERTIAN.

-   Hukum Angkasa adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan atau norma-norma yang    berlaku di ruang angkasa dan memiliki prinsip bebas untuk pemanfaatan dan eksplorasi di ruang angkasa.

                                               Ruang angkasa memiliki beberapa pengertian diantaranya :

-   Ruang Angkasa adalah ruang di seputar matahari kita dimana gaya gravitasinya     adalah yang paling dominan.

Ruang angkasa adalah wilayah yang terletak diatas ruang udara dan memiliki prinsip bebas untuk dieksplorasi dan pemanfaatannya oleh negara manapun tanpa memandang tingkat kemajuan dari negara manapun.

2. DASAR – DASAR HUKUM TENTANG RUANG ANGKASA.

Dasar hukumnya adalah :

  1. Deklarasi Bogota Tahun 1944 tentang Penerbangan Internasional.
  2. Space Treaty tahun 1967, diakui 2 prinsip yang paling pokok yakni Ruang Angkasa  adalah bebas dan Ruang Angkasa tidak dapat dimiliki dengan alasan apapun juga.
  3. Rescue Agreement Tahun 1968
  4. Convention On Internasional Liability Caused By space Objects Tahun 1972  atau lebih dikenal dengan Liability Convention tahun 1972.
  5. Registration Convension Tahun 1975. dan,
  6. Moon Agreement Tahun 1979.

3. BERKAITAN DENGAN TANGGUNG JAWAB.

Masalah kebebasan penggunaan ruang angkasa dan benda-benda langit dan masalah kedaulatan adalah masalah utama yang menjadi pembahasan. Sampai saat inipun belum ada ketentuan batas yang pasti antara ruang udara dan ruang angkasa, dan patut dipertanyakan apakah perlu ditetapkan batas demikian.
Akhirnya perlu kiranya diperhatikan masalah tanggung jawab, suatu masalah yang selalu melekat pada setiap kegiatan manusia, lebih-lebih lagi tanggung jawab untuk kerugian-kerugian yang mungkin ditimbulkan dipermukaan bumi oleh benda-benda angkasa, apalagi satelit dan pesawat ruang angkasa yang bersumber tenaga nuklir, kerugian yang mungkin mengancam lingkungan, manusia maupun harta benda.
Setelah kita tinjau secara singkat sistem-sistem dan prinsip-prinsip tanggung jawab pada umumnya maka Liabilty Convention tahun 1972 mengatur masalah tanggung jawab untuk kerugian yang ditimbulikan oleh “space objects” atau benda angkasa. Dengan demikian, maka sebelum membahas konvensi secara menyeluruh , sebagai pangkal tolak kita harus mengetahui apa yang disebut dengan benda angkasa.
Benda angkasa adalah setiap benda buatan manusia yang diluncurkan ke angkasa untuk maksud-maksud tertentu atau bagian-bagian dari benda tersebut tetap berada di angkasa atau jatuh kembali ke bumi. Secara kongkrit benda angkasa adalah satelit, roket peluncur, kendaraan angkasa (space vehicles), dan bagian-bagian benda ini yang sudah tidak terpakai lagi (debris).
Secara sistematis istilah “space objects” merupakan suatu pengertian “genus” yang dibagi dalam :
  1. Satelit buatan, baik berawak maupun tidak, yang diluncurkan dengan maksud untuk mengelilingi bumi dalam lintasan atau orbit tertentu untuk berbagai tujuan.
  2. Roket-roket peluncur untuk satelit dan benda angkasa lainnya, yang mungkin jatuh kembali ke bumi sebelum mencapai ruang angkasa.
  3. Kendaraan angkasa (“space Vehicles”) yang diluncurkan ke ruang angkasa, baik berawak maupun tidak, yang tidak dimaksudkan secara tetap mengelilingi bumi dan orbit, tetapi untuk menuju ke benda-benda langit (“Celestial bodies”) seperti bulan dan planet, untuk mendarat atau mendekatinya, pada saat ini untuk tujuan penelitian.
  4. “Debris” yaitu benda-benda yang sudah tidak berfungsi lagi seperti bagian-bagian roket, satelit yang dapat mengelilingi bumi di ruang angkasa, atau masuk kembali ke udara dengan kemungkinan jatuh kembali ke bumi.

Suatu jenis yang bersifat yuridis dan agak lain ialah pesawat “space shuttle” seperti pesawat Columbia yang disebut pesawat hibrida, karena diluncurkan ke ruang angkasa dengan roket, dapat mengelilingi bumi dalam orbit, dan dapat kembali ke bumi melalui ruang udara dan mendarat seperti pesawat udara biasa, suatu kemampuan yang tidak dimiliki oleh kendaraan angkasa lainnya dan mengingat defenisi dalam konvensi Chicago tahun 1944 bahwa “pesawat udara adalah setiap alat yang mendapat gaya angkat dari reaksi udara” maka secara yuridis pesawat space shuttle adalah pesawat udara. Akibatnya ialah apabila timbul kerugian dipermukaan bumi oleh pesawat hibrida tersebut, dapat timbul konvensi Roma ataukah Liability Convention??? Maka yang berlaku adalah Liability Convention, karena fungsi utama dari “space shuttle” adalah sebagai sarana untuk kegiatan di ruang angkasa, bukan di ruang udara.
Liability Convention mempergunakan dua prinsip dalam sistem tanggung jawab, yaitu prinsip “tanggung jawab mutlak” yang juga dikenal dalam Konvensi Roma dan Protokol Guatemala, khusus untuk kerugian yang ditimbulkan oleh dipermukaan bumi dan pada pesawat udara yang sedang terbang. Sedangkan kerugian pada benda angkasa dan lain dan orang didalamnya, dipergunakan prinsip yang didasarkan pada adanya kesalahan. Prinsip demikian tidak dikenal dalam Hukum udara, karena dalam sistem Warsawa misalnya adanya kesalahan (“wilfull misconduct” dan “ gross negligense”) hanya berpengaruh untuk meniadakan limit tanggung jawab. Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa bahwa prinsip kedua yang dipergunakan  dalam Liability Convention adalah sama dengan prinsip yang dikandung dalam pasal 1365 KUH perdata.
Suatu perbedaan antara prinsip “Absolute Liability” dan “Liability Based On Fault” ialah bahwa dengan prinsip pertama tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan sedangkan pada prinsip kedua harus dibuktikan dahuluy adanya kesalahan untuk adanya tanggung jawab.
Alasan untuk prinsip yang pertama adalah bahwa harus dilindungi pihak-pihak yang tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan di angkasa, sedangkan untuk prinsip yang kedua adalah bahwa seyogianya merupakan resiko bersama.
Dalam Liability Convention tidak dikenal prinsip “pembatasan tanggung jawab” dan jumlah kompensasi adalah nilai seluruh kerugian yang diderita. Berbeda dengan Konvensi Roma yang yang membatasi operator pesawat udara sampai suatu jumlah tertentu menurut berat pesawat, atau protokol Guatemala tahun 1971 yang membatasi tanggung jawab pengangkut untuk satu penumpang dengan limit maksimum sebesar 1.500.000 gold franc.
Tidak dipakainya prinsip “pembatasan tanggung jawab dengan sendirinya menguntungkan pihak yang dirugikan dan prinsip yang digunakan dalam Liabilty Convention sangat memuaskan terutama dilihat dari segi perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang menjadi korban.

4. BATAS RUANG UDARA DAN RUANG ANGKASA.
            Sampai sekarang tidak ada satu konvensi pun yang menegaskan dimana batas antara ruang udara dan ruang angkasa, maka masalah ini di coba untuk di tetapkan oleh para teoritisi.
            Teori-teori yang diajukan relatif berjumlah banyak dan memberi petunjuk mungkin tidak akan ada kesepakatan karena tidak mengadakan diferensiasi untuk maksud apa pembatasan dilakukan.
            Jumlah teori ini sekurang-kurangnya 9, dan titik tolaknya bermacam-macam. Teori-teori tentang garis batas antara Ruang Udara dan Ruang Angkasa adalah sebagai berikut :
1.      Garis berdasarkan Konsepsi “ Atmosfir”.
Salah satu alasan bahwa dalam teks konvensi Chicago 1944vdala bahasa Prancis digunakan kata “espace atmospherique” untuk sinonim kata “air space”. Atmosfir adalah lapisan udara di atas permukaan bumi yang berisi gas terdiri dari elemen-elemen seperti N2, O2, CO2, H2, dll, dan mempunyai tekanan dan kepadatan tertentu. Tekanan ini pada permukaan laut sama dengan tekanan dari sutau kolom Hg atau air raksa setinggi 86 cm pada suatu luas sebesar 1 atmosfir. Makin tinggi tekanan ini makin berkurang, akan tetapi baru pada ketinggian tertentu praktis menjadi 0.
Dapat kita tarik kesimpulan bahwa teori berdasarkan konsepsi atmosfir tidak mungkin konkrit karena bagaimanapun juga sampai ketinggian 500 km masih terdapat unsur-unsur atmosfir.

2.      Garis berdasarkan pembagian atmosfir dalam 4 lapisan, yaitu “Troposphere”, “Stratosphere”, “Mesosphere”, “Ionosphere”.
Ruang Udara hanya meliputi stratosfir karena pesawat udara tidak bisa terbang melebihi stratosfir.
3.      Toeri “ Konvensi Chicago 1944” berdasarkan ketinggian maksimum penerbangan dengan pesawat udara.
Didefenisikan sebagai “setiap alat yang mendapat gaya angkat aerodinamis di atmosfir dari reaksi udara.
4.      Garis “Von Karman” yaitu berdasarkan titik dimana gaya angkatb aerodinamis dikalahkan oleh gaya sentrifugal, yaitu pada ketinggian kira-kira 90.000 meter  (90 kilometer).
Teori berdasarkan “Von Karman”  adalah sederhana bunyinya, akan tetapi tidak praktis karena tidak memperhatikan kenyataan bahwa sebelum gaya sentrifugal mulai bekerja, gaya angkat aerodinamika sedemikian kecilnya sehingga praktis  tidak lagi dapat dimanfaatkan oleh pesawat udara.
Tidak ada pesawat udara yang mampu terbang mencapai ketinggian 90 kilometer.
5.      Garis berdasarkan “perigee” (titik terendah) dari orbit satelit. Suatu Variasi: Garis terendah satelit yang mengorbit pada tanggal ditanda tangani “Space Treaty” tahun 1967.
Suatu variasi dari teori ini adalah bahwa yang ditetapkan sebagai garis batas adalah titik terendah dari satelit pada tanggal di tanda tanganinya “space treaty” yaitu pada tanggal 27 Januari 1967.
Garis demikian juga kurang pasti karena  didasarkan pada kenyataan bahwa kalau atmosfir terlalu padat, satelit tidak dapat tetap dalam orbitnya dan kepadatan atmosfir berbeda-beda diberbagai tempat.
Teori ini kebalikan dari teori “ICAO” yang mulai dari bawah, dengan titik nol dari pesawat udara, sedangkan teori “satelit” dimulai dari atas. Kombinasi teori-teori ini akan menyebabkan adanya suatu bagian ruang udara/angkasa yang tidak termasuk kedua jenis pesawat tersebut.  
6.      Garis berdasarkan titik dimana sudah tidak ada gaya tarik  bumi.
Gaya tarik bumi makin lama makin kecil, sampai pada suatu ketinggian tertentu mencapai nilai yang praktis nol, meskipun tidak hilang sama sekali, karena sebagaimana kita tahu, bahwa bulan tetap pada orbitnya karena ada gaya tarik bumi.
Benda yang dilepaskan pada ketinggian ini tidak akan jatuh ke bumi akan tetapi akan melayang  di angkasa. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa demi keamanan suatu negara, ruang dibawah garis ini masih bisa digunakan untuk melakukan pemboman atas wilayah negara lain.
7.      Garis ditentukan oleh kemampuan negara dibawahnya untuk secara efektif melaksanakan kekuasaannya.
Teori ini juga disebut teori “kekuatan”  karena mendasarkan batas antara ruang udara dan ruang angkasa pada kemampuan suatu negara untuk mempertahankan kekuasaannya di ruang udara dan ruang angkasa. Tapi ini akan berakibat bahwa batas kedaulatan untuk tiap negara akan berbeda-beda.
Dengan demikian, bukanlah suatu situasi yang ideal. Teori ini mengingatkan kita pada pendapat Bijnkershoek bahwa laut teritorial adalah sejauh kemungkinan penguasaan. Kriterium ini menjadi dasar ketentuan sejauh jarak tembak meriam pantai, yaitu sejauh 3 mil atau kurang lebih 5,5 kilometer.
8.      Teori “Zone” yang membagi ruang udara menjadi ruang yang tunduk pada kedaulatan suatu negara, berdasarkan kemampuan terbang suatu pesawat udara biasa atau dengan suatu cara pembatasan lainnya, suatu daerah lintas (a “contiguous zone”) yang dapat dilalui dengan bebas oleh semua penerbangan non militer dan diatas  kedua zone ini suatu ruang yang bebas.
Teori Zone membagi ruang diatas permukaan bumi menjadi tiga zone yaitu suatu zona dimana negara berdaulat dan batas ketinggiannya ditentukan oleh ketinggian maksimum yang dapat dicapai oleh suatu pesawat udara biasa atau dengan suatu cara lain, diatasnya terdapat zone bebas lintas bagi pesawat udara non-militer, dan setelah itu zone bebas sama sekali.
Dengan kemajuan teknologi maka yang sulit adalah terdapat jenis-jenis pesawat udara yang bermesin roket dan dapat terbang sampai suatu ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh pesawat udara bermesin piston atau bermesin jet, seperti misalnya pesawat Bell X-15 dan ada pesawat angkasa yang dapat mendarat seperti pesawat udara biasa, misalnya pesawat Space Shuttle Columbia. 
9.      Garis batas ditentukan oleh suatu kombinasi diantara cara-cara yang disebutkan diatas.
Dari delapan teori yang dikemukakan tujuh didasarkan pada kodrat alamiah semesta alam kita, sedangkan satu teori adalah teori “kekuatan”
Kelompok pertama bertitik tolak dari pengertian atmosfir, gaya angkat dari reaksi udara, gaya sentrifugal, titik terendah dari orbit satelit (yang ditentukan oleh gaya-gaya alamiah) dan gaya tarik bumi, yang kesemuanya memang merupakan faktor-faktor yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Dengan demikian, maka masalah yang pokok adalah menentukan suatu garis batas yang tegas antara Ruang Udara dan Ruang Angkasa, yang adil bagi setiap negara, tidak mengabaikan kodrat dan sifat alam, tanpa mempergunakan teori “efektifitas penguasaan” yang pada hakekatnya merupakan teori kekuatan, dan mungkin hanya dapat dimanfaatkan oleh beberapa negara saja dan tidak sesuai dengan prinsip bahwa setiap negara mempunyai hak-hak yang sama di ruang angkasa.

Tidak ada komentar: