Jakarta, Kompas 15 Desember 2000
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mengajukan usul kepada pemerintah untuk membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc yang akan mengadili pelanggaran HAM berat di Timor Timur (Timtim) pascapenentuan pendapat tahun 1999 serta Tragedi Tanjung Priok tahun 1984. Usulan pembentukan kedua pengadilan HAM ad hoc tersebut mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Usulan DPR ini otomatis akan membuka kembali proses hukum atas sejumlah perwira TNI dan warga sipil yang menjadi terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM Timtim. Penuntasan kasus Timtim ini terhenti karena Pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk, meskipun proses penyidikannya telah selesai. Sedang untuk kasus Tanjung Priok yang penyidikannya masih berlangsung di kejaksaan, usulan DPR ini akan menguji secara yuridis eksistensi proses islah (perdamaian) yang ditandatangani Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) Jaya (ketika itu) Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan keluarga korban serta korban Tanjung Priok.
Kepastian usulan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dari DPR itu terungkap dalam Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, Rabu (21/3). Usulan yang sebelumnya dibahas oleh Komisi II DPR itu disetujui secara aklamasi oleh seluruh anggota DPR yang menghadiri sidang tersebut.
Soetardjo mengungkapkan, salah satu alasan yang mendorong Dewan mengajukan usulan itu adalah kasus pelanggaran HAM di Timtim maupun Tragedi Tanjung Priok mendapatkan perhatian luas dari publik, baik dari dalam maupun luar negeri. Langkah ini pun sejalan dengan perintah Ketetapan (Tap) MPR Nomor IV/MPR/ 1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang menegaskan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tersebut juga dalam rangka penegakan hukum dan keadilan.
DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM untuk perkara Timtim dan Tragedi Tanjung Priok setelah Komisi II menilai kedua kasus itu sudah diterima dan dinyatakan lengkap oleh tim penyidik Kejaksaan Agung. Terkait dengan tindak lanjut penanganan pelanggaran HAM berat di Timtim, DPR pun meminta agar Pengadilan HAM serupa dibentuk pula di Timtim atau Timor Leste, untuk mengadili warga Timtim yang telah melanggar HAM warga negara Indonesia atau warga Timor Leste sendiri.
Presiden harus mengeluarkan keputusan presiden (keppres) untuk pembentukan Pengadilan HAM ad hoc tersebut. Ini sesuai dengan Pasal 43 Ayat 2 UU Nomor 26 Tahun 2000 yang berbunyi, Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Sedangkan Ayat 1 menegaskan, Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Sementara Komisi Nasional (Komnas) HAM dalam siaran persnya hari Selasa menyebutkan, Presiden Abdurrahman Wahid sudah mengeluarkan Keppres membentuk Pengadilan HAM. Berdasarkan Keppres Nomor 31 Tahun 2001, tertanggal 12 Maret 2001 itu, pemerintah membentuk pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Medan, dan PN Makassar.
Keppres ini tidak dimaksudkan sebagai wadah peradilan untuk kasus pelanggaran HAM Timtim dan Priok. Namun, semata-mata untuk memenuhi perintah Pasal 45 UU No 26/2000 yang berbunyi, Untuk pertama kali pada saat undang-undang ini mulai berlaku Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud dalam pasal dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar. Sedang kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum dikeluarkannya UU Pengadilan HAM-misalnya kasus Timtim dan Tanjung Priok-harus diadili di Pengadilan HAM ad hoc.
Islah Tanjung Priok
Wakil Ketua Komisi II Ferry Mursyidan Baldan dan Dwi Ria Latifa, anggota Komisi II, mengungkapkan, usulan pembentukan Pengadilan HAM untuk mengadili pelaku Tragedi Tanjung Priok tahun 1984 memang tidak dikaitkan dengan islah antara Try Sutrisno dan mereka yang diduga bertanggung jawab atas tragedi itu dengan korban dan keluarga korban. Islah, walau baik, belum dikenal dalam sistem hukum nasional.
Tragedi Tanjung Priok terjadi tanggal 12 September 1984 di depan Markas Kepolisian Resor (Polres) Jakarta Utara. Tragedi itu diawali dengan pengajian yang dilakukan warga, yang kemudian berubah menjadi kekacauan dan ditanggapi secara represif oleh aparat. Dalam tragedi itu, sesuai laporan KPP HAM Tanjung Priok, 33 orang tewas dan sekitar 55 terluka. KPP HAM merekomendasikan semua anggota aparat yang terlibat dalam tragedi itu disidik karena sudah terjadi pelanggaran HAM berat. Akan tetapi, KPP HAM Tanjung Priok menyimpulkan tidak terjadi pembunuhan secara massal.(Kompas 17/6/2000)
Kasus Timtim
Adapun kasus pelanggaran HAM di Timtim pascapenentuan pendapat terjadi awal September 1999. "Komisi II mengusulkan perkara ini segera dilimpahkan ke Pengadilan HAM ad hoc, karena menarik perhatian masyarakat dalam dan luar negeri. Kasus ini pun berkaitan dengan hubungan Indonesia dengan masyarakat internasional sehingga perlu diprioritaskan," jelas Ferry.
Penentuan pendapat di Timtim digelar tanggal 30 Agustus 1999 yang dimenangkan oleh masyarakat pendukung kemerdekaan Timtim. Kecewa atas hasil penentuan pendapat itu, masyarakat pro-integrasi merusak dan membakar berbagai fasilitas umum dan rumah warga. Aksi itu dinilai dibiarkan oleh aparat Indonesia yang bertanggung jawab atas keamanan di Timtim.
Kejaksaan Agung membentuk Tim Penyidik Gabungan Pelanggaran HAM Timtim-menindaklanjuti hasil penyelidikan KPP HAM yang diumumkan tanggal 31 Januari 2000-dan memeriksa sejumlah saksi. Tanggal 1 September 2000, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) mengumumkan 19 tersangka kasus pelanggaran HAM itu, termasuk mantan Panglima Kodam Udayana Mayjen Adam Damiri, mantan Gubernur Timtim Abilio Jose Osorio Soares, dan mantan Komandan Korem 164/Wira Dharma Brigjen Tono Suratman. Tiga anggota milisi pun dijadikan tersangka.
Tanggal 3 Oktober 2000, Tim Penyidik Gabungan mengumumkan lagi empat tersangka baru kasus pelanggaran HAM di Timtim. Di antaranya adalah Wakil Panglima Pejuang Pro-Integrasi (PPI) Eurico Guterres. Guterres diduga terlibat pada kasus penyerangan rumah Manuel Viegas Carascalao tanggal 17 April 1999. Tiga tersangka lainnya adalah pemimpin milisi Mati Hidup Integrasi dengan Indonesia (Mahidi) Vasco da Crus, anggota milisi Laksaur Motornus, dan mantan Komandan Kodim 1627/Dili Timtim Letkol (Inf) Endar Priyatno.
Kejaksaan Agung menyatakan, penyidikan pelanggaran HAM berat di Timtim berakhir tanggal 17 Oktober 2000. Namun, penyidikan ini tidak mencapai hasil optimal karena lima tersangka belum diperiksa. Lima tersangka yang tidak bisa diperiksa itu adalah Izidio Manek, Vasco da Cruz, Martinus Bere, Motornus, dan Manuel Solusa yang tidak diketahui keberadaannya. Seorang tersangka, Olivio Mendoza Moruk alias Olivio Mau, ternyata sudah meninggal.
JAM Pidum mengakui, penyerahan perkara pelanggaran HAM Timtim itu harus ke Pengadilan HAM ad hoc. Karena itu, seperti dijelaskan kepada Kompas (15/12/2000), penyelesaian kasus itu tergantung pada DPR yang harus mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc kepada pemerintah. (tra)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar