Selasa, 06 September 2011

BEBERAPA MASALAH SUKSESI NEGARA DALAM KASUS TIMOR TIMUR


Pendahuluan

Suksesi negara adalah salah satu obyek pengkajian klasik dalam hukum internasional publik. Oscar Schachter mengungkapkan bahwa "State succession is one of the oldest subjects of international law."1 Meskipun sudah menjadi obyek kajian yang telah lama, namun hukum internasional masih belum jelas mengatur masalah ini. Czaplinski menyatakan bahwa hukum suksesi Negara “... is one of the underdeveloped areas of international law.”
Dewasa ini kajian terhadap bidang ini kembali menarik perhatian cukup besar dari para sarjana hukum internasional. Sebab utamanya adalah cukup banyaknya negara baru yang lahir. Tercerai-berainya Uni Sovyet (Rusia) dan pecahnya Yugoslavia menjadi beberapa negara baru pada tahun 1991 adalah keadaan di mana perhatian terhadap suksesi negara menjadi signifikan.

Indonesia sendiri juga menghadapi masalah ini. Pertama adalah lepasnya Timor Timur dari Indonesia dan kemudian menyatakan kemerdekaannya (dengan bantuan masyarakat internasional yang tergabung dalam PBB). Kedua, adalah masalah suksesi negara yang terkait dengan perjanjian internasional ketika Mahkamah Internasional memeriksa sengketa pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia melawan Malaysia (1997-2002).

Hukum Internasional mengenai Suksesi Negara.
Hukum internasional positif yang mengatur bidang ini masih belum ada. Belum ada aturan baku yang menjadi acuan atau mengikat bagi negara-negara. Praktek telah pula menunjukkan bahwa tidak ada aturan yang dapat diterima umum sebagai hukum internasional. Hal ini agak mengherankan, mengingat hukum internasional telah lama berupaya mengatur bidang ini. Hukum yang ada dari sejak awal perkembangan di bidang hokum ini adalah berbagai perjanjian bilateral antara negara baru dan lama. Contoh klasik mengenai perjanjian bilateral ini adalah Perjanjian tahun 1919 yakni the Treaty of Paris yang mengatur utang-utang publik (negara lama) yang beralih kepada negara baru, yaitu Hungaria.



            Upaya pembentukan hukum atau perjanjian internasional mengenai hal ini bukannya tidak ada. Kekosongan hukum mengenai bidang hukum ini telah mendorong Komisi Hukum Internasional PBB (International Law Commission atau ILC) untuk mengkodifikasi hukum internasional di bidang hukum ini. Tahun 1978, ILC mengesahkan Konvensi Wina mengenai suksesi negara dalam kaitannya dengan perjanjian. Lalu pada tahun 1983, ILC juga mengesahkan Konvensi Wina mengenai Suksesi Negara dalam kaitannya dengan Harta Benda, Arsip-arsip dan Utang-utang Negara. Khususnya untuk Konvensi Wina 1983, Konvensi ini mensyaratkan 15 ratifikasi agar Konvensi dapat berlaku efektif. Namun hingga ini baru diketahui hanya 5 negara saja yang meratifikasi.

Mengapa bidang ini begitu sulit untuk mendapat pengaturan hukum internasional?

Masalahnya adalah, pertama, di dalam suksesi negara terkait di dalamnya berbagai faktor hukum dan faktor-faktor non-hukum lainnya yang melekat. Faktor-faktor ini tampak cukup banyak mengingat kasus-kasus yang menyangkut lahirnya suksesi negara ini satu sama lainnya tidak sama.
Karena itu, untuk memahami masalah ini, pertama-tama perlu terlebih dahulu memahami sifat hukum daripada negara: yakni batasan dan sifat negara, fungsi-fungsi hukum dari unsur-unsur negara, akibat-akibat hukum dari perubahan suatu wilayah, dll.
Pertimbangan faktor-faktor lainnya yang berperan penting di samping faktor hukum, misalnya, adalah akibat-akibat yang lahir sehubungan dengan terjadinya suksesi negara. Sesungguhnya, terdapat berbagai masalah yang lahir yang perlu mendapat pengaturan yang tegas. Misalnya, masalah nasionalitas atau status hukum seseorang, masalah perbatasan, dll.
Kedua, dalam praktek ternyata tidak jarang suatu negara (baru) menganggap dirinya bukanlah negara baru dalam arti sebenarnya. Sehingga karenanya suksesi negara sebenarnya tidak ada atau tidak terjadi. Misalnya, pada tahun 1991, negara baru Federasi Rusia menyatakan bahwa negaranya sebenarnya bukanlah negara baru, tetapi merupakan kelanjutan dari Uni Sovyet (negara lama yang bubar). Sama halnya dengan kasus Timor Timur. Ketika Timor Timur memisahkan diri dari RI, Konstitusinya masih
menganggap bahwa hari kemerdekaannya bukanlah pada tahun 1999 ketika lepas dari RI, tetapi tahun 1975.


Suksesi Negara dan Timor Timur.
Terlepasnya Timor Timur dari wilayah Republik Indonesia dan kemudian membentuk negara baru (Timor Leste), melahirkan berbagai masalah baru. Masalah utamanya adalah adanya dua pendapat yang saling bertentangan antara Indonesia dan negara-negara luar. Indonesia menganggap Timur Timur adalah wilayah yang sebelumnya telah resmi menjadi bagian wilayah Indonesia pada tahun 1976. Karena itu, ketika Timor Timur kemudian memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999, maka telah terjadi suksesi negara pada waktu itu.
Pandangan kedua dari negara-negara lain, termasuk PBB, yang menganggap peristiwa tahun 1976 tersebut adalah tindakan pendudukan dengan kekerasan terhadap wilayah Timor Timur. Karena itu, ketika Timor Timur lepas dari wilayah Indonesia, yang terjadi bukanlah suksesi negara, tetapi “pengembalian kedaulatan”.
Terlepas apakah telah terjadi suksesi negara atau tidak, masalah mengenai status aset harta kekayaan pemerintah Indonesia yang berada di wilayah Timor Timur (Timor Leste) ternyata kemudian menjadi masalah kedua negara.
 Dari fakta ini, menurut penulis, suksesi negara telah terjadi. Wilayah Timor Timur sebelumnya adalah wilayah pendudukan (Portugis sebelum diambil alih Indonesia), bukan wilayah merdeka. Karena itu dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999, telah terjadi pemisahan wilayah dan kemudian telah lahirnya suatu negara baru. Artinya, telah terjadi suatu proses suksesi negara.

Aset Pemerintah RI.
            Sewaktu Timor Leste menyatakan “perpisahannya” dari RI, masalah yang segera timbul adalah bagaimanakah status hukum asset-aset pemerintah RI yang ada di dalam wilayah negara tersebut.
Pendirian RI dan Timor Leste berbeda. RI berpendapat bahwa asset-asetnya di wilayah itu tidak secara otomatis beralih, tetapi status tersebut harus atau tunduk kepada aturan-aturan hukum internasional yang berlaku.
Sebaliknya Timor Leste berpendapat bahwa aset tersebut adalah milik negaranya sesuai dengan Konstitusinya. Sudah diakui umum, suksesi terhadap harta benda (aset) publik dari negara yang diambil alih adalah suatu prinsip hokum kebiasaan internasional. Praktek negara-negara mengakui suksesi negara baru terhadap aset atau harta kekayaan milik Negara sebelumnya. Sarjana terkemuka yang memiliki otoritas di bidang kajian ini, yakni D.P. O'Connell, mengemukakan bahwa negara pengganti(successor state) memiliki hak-hak dan kewajiban kewajiban dari hak milik dari negara yang digantikannya. Konvensi Wina 1983 tidak membedakan harta benda publik dan privat. Konvensi lebih menekankan kepada perlakuan yang seragam dari harta benda negara (State property). Tampaknya yang menjadi alasan Konvensi untuk tidak memberikan pembedaan ini karena tidak adanya kriteria dalam hukum kebiasaan internasional mengenai pengertian harta negara ini.
Berdasarkan Konvensi 1983, harta benda negara (State property) adalah "property, rights and interests (in a re owned by that State." Dengan kata lain, harta benda negara adalah harta benda, hak dan kepentingan (dalam arti hukum) yang dimiliki oleh negara pada waktu terjadinya suksesi negara.
            Dalam hal negara pengganti (succession States) tersebut bukan suatu negara baru merdeka, maka para negara akan berupaya mencari kesepakatan (agreement). Manakala para pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pada prinsipnya benda-benda bergerak yang berada di dalam wilayah negara pengganti beralih kepada negara tersebut.
Pasal 17 (1) (b) Konvensi 1983 menjelaskan lebih lanjut bahwa harta benda bergerak yang beralih tersebut adalah harta benda yang ada kaitannya dengan kegiatan  negara yang diganti (lama) di wilayah yang sekarang menjadi milik negara pengganti.
Tidak termasuk dalam hal ini adalah harta benda yang diperoleh oleh negara yang digantikan sebelum, misalnya, terjadinya kolonisasi atas wilayah yang sekarang menjadi negara pengganti(baru). Sedangkan harta benda bergerak lainnya di mana suatu bagian wilayah terpisah harus dibagi berdasarkan pembagian yang adil ("equitable proportion").
Namun dalam hal negara pengganti adalah suatu negara yang baru merdeka (newly independent State), maka kesepakatan di antara para pihak tidak diperlukan (Pasal 15 (1) (b)). Demikian pula negara baru merdeka ini juga mewarisi harta benda bergerak yang semula "milik" wilayah yang sekarang menjadi negara baru meredeka selama jangka waktu wilayah tersebut masih dimiliki negara lama. Ketentuan yang sama juga berlaku terhadap harta benda bergerak yang semula dimiliki atau dibentuk oleh wilayah yangsekarang merdeka.
Dari uraian di atas tampak bahwa Konvensi internasional memberi hak kepada negara yang baru merdeka untuk mengklaim dirinya sebagai pemilik baru atas asset negara lama. Dalam hal ini, Timor Leste sebagai negara baru merdeka menjadi pemilik atas aset negara RI yang berada di sana. Pada umumnya, negara-negara mempunyai hukum nasional-nya yang mengatur masalah suksesi negara ini. Hukum nasional Timor Leste telah dikemukakan di atas. Hukum Indonesia mengatur suksesi negara dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional. Namun UU ini hanya mengatur suksesi negara dalam kaitannya dengan status hukum perjanjian internasional di negara baru (pasal 20). RI tidak punya aturan suksesi negara mengenai status aset negara di suatu wilayah negara baru.
Contoh lain sebagai perbandingan adalah hukum Amerika Serikat (AS). Pengaturan Suksesi Negara dalam hukum AS terdapat dalam the Foreign Relations Law. Menurut Section 209 UU ini, "Subject to agreement between the predecessor and successor
12 Pasal 17 (1) (c) Konvensi 1983.
13 Pasal 15 (1) (b) Konvensi 1983.
14 Pasal 15 (1) d-f Konvensi 1983.
states, title to state property passes as follows: ...

c. where part of a state becomes a separate state, property of the predecessor state located in the territory of the new state passes to the new state."
Hukum Amerika Serikat tersebut tampak senada dengan hukum nasional (Konstitusi) Timor Leste. Namun yang menarik dari hokum AS ini adalah bahwa kepemilikan tersebut akan beralih apabila ada kesepakatan di antara para pihak. Artinya, ia tidak beralih secara otomatis.
Dari ulasan di atas, tampak ada persamaan berikut. Aset negara lama (RI) yang terdapat di dalam wilayah negara yang baru merdeka pada prinsipnya beralih menjadi milik negara yang baru merdeka. Ketentuan ini ditegaskan dalam Konvensi Wina 1983, hukum AS dan hukum Timor Leste[Sic!].

Permasalahannya adalah, apakah Konvensi Wina 1983 bersifat mengikat? Dan, apakah hukum nasional dapat dipakai sebagai pedoman dalam sengketa sekarang ini?
Pertama, Konvensi 1983 pada prinsipnya tidak berlaku terhadap Indonesia karena Indonesia tidak meratifikasinya. Meskipun demikian, Konvensi 1983 dapat berfungsi atau dianggap sebagai sumber hukum berupa doktrin. Dalam hal ini ketentuan dalam Konvensi 1983 adalah hasil dari pendapat dari para ahli hukum internasional terkemuka (para anggota ILC).
Kedua, status hukum nasional yang mengatur masalah suksesi negara. Hukum nasional Timor Leste dan hukum AS sudah barang tentu tidak berlaku keluar atau mengikat pihak lainnya. Hukum nasional tersebut tidak mengikat RI, Namun demikian, apabila dilihat seksama, tampak bahwa bunyi ketentuan mengenai suksesi negara antara hukum nasional (Konstitusi Timor Leste) dengan hukum internasional tidak jauh beda. Artinya, klaim pemerintah Timor Leste terhadap aset negara RI memiliki dasar hukum yang cukup kuat.

Status Perjanjian Timor Gap.
Masalah hukum lain yang mendapat sorotan di tanah air adalah status Perjanjian Timor Gap (Timor Gap Treaty) antara RI dan Australia. Masalah hukum yang lahir adalah:
1. Apakah Perjanjian Timor Gap masih berlaku setelah Timor Timur lepas dari wilayah RI?
2. Kalau jawaban pertanyaan 1) di atas adalah negatif,    apakah Timor Barat mempunyai hak atas sumber daya alam di landas kontinen di wilayah Timor Gap berdasarkan hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982?
Perjanjian Timor Gap mengikat Indonesia setelah diundangkan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1991. Perjanjian ini merupakan pengaturan sementara antara RI – Australia yang ditempuh mengingat upaya kedua negara dalam menetapkan garis batas landas kontinennya di wilayah Timor Gap gagal meskipun perundingan untuk itu telah berlangsung cukup lama (sekitar 10 tahun).
Kendala utamanya adalah perbedaan pandangan para pihak mengenai prinsip hukum yang diterapkan di Timor Gap dan mengenai situasi geomorfologis landas kontinen di wilayah Timor Gap. Daripada masalah penetapan garis batas berlarut-larut, kedua pihak sepakat untuk mengadakan pengaturan sementara. Pengaturan sementara ini sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yang antara lain menyatakan:
Pending agreement as provided for in paragraph 1, the
Sates concerned, in a spirit of understanding and cooperation,
shall make every effort to enter into
provisional arrangements of a practical nature and, during
this transitional period, not to jeopardize or hamper the
reaching of the final agreement. Such arrangements shall be without prejudice to the final delimitation ... “
Wilayah yang menjadi sengketa dibagi ke dalam tiga zona, yakni zona A, B, dan C. Zona A adalah wilayah tumpang tumpang tindih (overlapping) atau daerah sengketa (disputed area). Di zona ini kedua pihak sepakat untuk membagi keuntungan “fiftyfifty”. Zona ini adalah daerah landas kontinen yang di Selatan dibatasi oleh klaim maksimum Indonesia (median line), dan di utara dibatasi oleh klaim maksimum Australia (di Palung Timor atau Timor Trough). Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, dan sesuai dengan praktek negara, negara-negara yang bersangkutan dapat membuat perjanjian untuk menjadikan disputed area tersebut sebagai joint development zone atau zona pengembangan bersama dengan pembagian keuntungan “fifty-fifty”.
Zona B adalah zona di mana Indonesia menuntut bagian dari keuntungan yang diperoleh Australia atas daerah landas kontinen yang memang berada di bawah yurisdiksi Australia karena terletak di luar batas klaim maksimal Indonesia (terletak di sebelah selatan median line). Hal ini dimaksudkan untuk kompensasi bagi garis batas landas kontinen berdasarkan Perjanjian tahun 1972 yang kurang menguntungkan Indonesia (terlalu dekat dengan pantai Indonesia). Sebabnya adalah ketentuan hukum laut yang berlaku waktu itu kurang menguntungkan Indonesia. Karena itu, Zona B merupakan keuntungan tambahan bagi Indonesia karena di samping memperoleh separuh dari hasil di Zona A, Indonesia memperoleh 16% dari hasil yang diperoleh Australia di daerah yang seharusnya merupakan daerah yurisdiksi eksklusif Australia.
Namun untuk dapat menerima usulan Indonesia mengenai Zona B tersebut, dan atas dasar permintaan Australia untuk keseimbangan, Australia menuntut agar ada daerah kecil di sebelah utara klaim maksimal Australia (di utara Palung Timor) di mana Australia akan “memperoleh” 10% dari “keuntungan” di daerah tersebut, yang kemudian dinamakan Zona C yang sejak semula sudah diketahui oleh kedua belah pihak sebagai daerah yang tidak prospektif. Jadi sebenarnya Zona C ditetapkan dan disepakati sekedar untuk menampung keinginan Australia untuk menciptakan suatu keseimbangan tanpa merugikan Indonesia.
Menyusul jejak pendapat di Timor Timur tanggaal 30 agustus 1999 di mana penduduk Timor Timur memilih untuk berpisah dari RI, pemerintah mengeluarkan TAP MPR No V/MPR/1999 yang menerima jejak pendapat tersebut. TAP MPR ini sekaligus juga mencabut TAP MPR No VI/MPR/1976 tentang integrasi Timor Timur ke dalam wilayah RI. Dengan keluarnya TAP MPR tahun 1999 tersebut, pemerintah RI berpendapat Perjanjian Timor Gap telah kehilangan hukumnya.
Dasar hukum yang digunakan pemerintah untuk pendapatnya tersebut adalah berdasarkan pada sumber hukum perjanjian tentang berakhirnya perjanjian internasional.
Pemerintah berpendapat bahwa apabila obyek dari suatu perjanjian berubah, maka perubahan tersebut dapat dijadikan dasar oleh kedua belah pihak untuk mengakhir perjanjian.
Menurut hemat penulis, pendapat pemerintah RI ini kurang tepat. Memang benar salah satu alasan untuk mengakhiri perjanjian internasional adalah karena berubahnya obyek perjanjian {Sic!].

Namun masalahnya adalah, obyek perjanjian ini yaitu wilayah Timor Gap tidak berubah. Alasan yang tampaknya lebih tepat adalah alasan suksesi negara, yaitu terpisahnya wilayah Timor Timur dari wilayah RI dan hilangnya kedaulatan RI atas wilayah Timor Timur. Dengan beralihnya kedaulatan atas wilayah Timor Timur ini kepada Timor Leste, maka kejadian ini dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri Perjanjian Timor Gap.
Kedua negara melalui penandantangan Exchange of Letters tanggal 1 Juni 2000 sepakat untuk mengakhiri Timor Gap Treaty       yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juni 2000. Dengan demikian, perjanjian tersebut tidak berlaku lagi dan wilayah Timor Gap karenanya bergantung kepada perjanjian atau kesepakatan antara Timor Timor dan Australia. Terserah kepada kedua negara ini apakah mereka akan merundingkan penetapan garis batas landas kontinennya atau juga membuat pengaturan sementara seperti yang dilakukan antara RI – Australia.
Masalah hukum kedua adalah apakah Timor Barat mempunyai hak atas sumber daya alam di wilayah landas kontinen Timor Gap berdasarkan hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982.
            Daerah yang dinamakan Timor Gap adalah daerah landas kontinen di antara Timor-Timur dan Australia, yaitu daerah yang terletak di antara dua titik dasar pada pulau Timor, yaitu di sebelah timur pada titik median line antara pulau Leti (Indonesia) dan pulau Yako (Timor-Timur), dan di sebelah barat pada titik mulut sungai Mota Masin di perbatasan Timor-Timur dan NTT, yang ditetapkan berdasarkan Perjanjian RI-Australia tahun 1972. Daerah tersebut dinamakan Timor Gap karena adanya gap atau celah di mana garis batas landas kontinen kedua negara belum dapat ditetapkan karena adanya perbedaan posisi antara Portugal - dan kemudian Indonesia- dengan Australia mengenai cara menarik garis batas landas kontinen di daerah itu.
Dengan demikian daerah di sebelah Barat dan Timur dari Timor Gap tidak termasuk Timor Gap, dan garis batas landas kontinen antara kedua negara di kedua daerah tersebut sudah ditetapkan berdasarkan Perjanjian tahun 1972.
Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa dengan lepasnya Timor-Timur dari wilayah RI, Indonesia (termasuk Timor Barat) tidak lagi mempunyai hak terhadap landas kontinen di daerah Timor Gap” berdasarkan hukum internasional.





Penutup.
Dari uraian di atas, tampak bahwa terlepasnya Timor Timur dari wilayah RI merupakan masalah suksesi negara. Dua masalah yang serta merta lahir daripadanya, yakni masalah status asset pemerintah RI di wilayah Timor Leste dan status Perjanjian Timor Gap merupakan sebagian kecil saja masalah yang timbul dari terlepasnya Timor Timur dari RI.
Kasus Timor Timur juga menunjukkan bahwa masalah suksesi negara ini semakin relevan dewasa ini. Kasus ini sekaligus juga menunjukkan bahwa hukum mengenai suksesi negara ini berkembang dan kasus ini memiliki kekhasannya.
 Kasus ini di samping masalah klasik yang melekat setelah terjadinya proses suksesi negara, yakni masalah status aset negara lama, juga terdapatnya perjanjian yang jenisnya bukan perjanjian perbatasan, tetapi pengaturan sementara. Karena itu, doktrin atau prinsip hukum yang berlaku umum untuk masalah perbatasan ini, yakni doktrin uti possidetis, tidak berlaku dalam kasus ini.

Daftar Pustaka
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, cet.2., 2001.
Budi Lazarusli dan Syahmin S.K., Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internasional, Bandung: Remadja Karya, 1986.


Tidak ada komentar: