Minggu, 12 Oktober 2014

ASAS-ASAS BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU

Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana.

Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali)
Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.

asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :

Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).

RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT
Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat terjadinya. Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat yaitu :

Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial).
Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional aktif.

Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :

1. Asas Teritorial.
Asas ini diatur dalam KUHP yaitu dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan :

Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia.

Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :
Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.

2. Asas Personal (nasional aktif).
Pasal 5 KUHP menyatakan :

(1). Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.

(2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan.

Sekalipun rumusan Pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif)
karena Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional.

3. Asas Perlindungan (nasional pasif)
    Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena Pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :

Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1).
Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2).
Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3).
Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4).

4. Asas Universal.
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :

Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.
Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial.
Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya.
Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.

Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia

. Pendahuluan

Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Demikian John Austin, seperti dikutip oleh Prof Lili Rasyidi.[1] Perdebatan mengenai hububngan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.

Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis. Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat. (baca Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).

Karena itu, dalam melihat persoalan hukum di Indonesia harus dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan harapan akan mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem hukum Indonesia pada masa mendatang.

II. Pandangan Aliran Positivis Tentang Hukum



Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. (Achmad Ali, 2002, : 265). Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengahruskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci. Menurut Fletcher (Fletcher 1996 : 33) Positivisme hukum mempunyai pandangan yang sama tentang diterimanya validasi. Seperti halnya positivisme sains yang tidak dapat menerima pemikiran dari suatu proposisi yang tidak dapat diverifikasi atau yang tidak dapat difalsifikasi., tetapi karena hukum itu ada karena termuat dalam perundang-undangan apakah dipercaya atau tidak. Hukum harus dicantumkan dalam undang-undang oleh lembaga legislatif dengan memberlakukan, memperbaiki dan merubahnya.

Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapan yang di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum.

Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Inggeris yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Common Law dan Hans Kelsen, seorang ahli hukum yang berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental.

Menurut John Austin (seperti dikutip Achmad Ali, Ibid, hlm. 267), hukum adalah perintah kaum yang berdaulat. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas disebut demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda dengan ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi. Menurut pandangan Austin (Lili Rasyidi, 2001, : 58), hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada empat unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat dikatan sebagai positive law.

Selanjutnya Lili Rasyidi (Ibid, : 59-60) menyimpulkan pokok-pokok ajaran Analytical Jurisprudence dari Austin, yaitu :

Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain terbeut berada di luar hukum;
Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun secara yuridis tidak penting bagi hukum.
Pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah;
Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa.
Kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
Ajaran Austin kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.

Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan ( Ibid. : 60). Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen (Ibid. : 61) adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi betrlakunya hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein / kenyataan sosial.

Sedangkan ajaran stufentheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang paling tanggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil.

Selanjutnya Prof. H.L.A. Hart (seperti dikutip oleh Lili Rasyidi, Ibid. : 57), menguraikan tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai berikut:

- Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);
- Pengertian bahwa tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan moral atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang sebenarnya;
- Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah :
1. mempunyai arti penting,
2. harus dibedakan dari penyelidikan :

a. historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum,

b. sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan

c. penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.

- Pengertian bahwa sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral;

- Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.

Dengan demikian kita dapat pula mengatakan, karena negara adalah ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit, pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik, yang dituangkan kedalam aturan-aturan, yang secara formal diundangkan. Jadi dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik (Ibid, : 93).



III. Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia

A. Peranan Struktur dan Infrastruktur Politik

Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik. Yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya (Daniel S. Lev, 1990 : xii).

Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.

Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas-azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan (Lihat Mieke Komar at. al, 2002 : 91).

Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata “process” dan kata “institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dpengarhi oleh kekuata-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan (M.Kusnadi, SH., 2000 : 118). Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpilkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.

Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem hukum internasional dan tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). Demikian pula dalam praktek hukum pun di tengah masyarakat, pengaruh aliran poisitvis adalah sangat dominan. Apa yang disebut hukum selalu dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan, di luar itu, dianggap bukan hukum dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum. Nilai-nilai dan norma di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang dan hanya untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undang yang tidak atau belum mengatur masalah tersebut.

Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem “checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing.

Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari instutusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.



B. Pengaruh Kelompok Kepentingan dalam Pembentukan Hukum

Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seperti kalangan pengusaha, tokoh ilmuan, kelompok organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat dan lain-lain. Bahkan UU. R.I. No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang diatur dalam Pasal 53 : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.”

Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengarh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi disegala bidang berhasil dimenangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru di bawah kepemimpinan Suharto yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas. Dalam kasus ini, mengingatkan kita kepada apa yang diutarakan oleh pakar filsafat publik Walter Lippmann, bahwa opini massa telah memperlihatkan diri sebagai seorang master pembuat keputusan yang berbahaya ketika apa yang dipertaruhkan adalah soal hidup mati (Walter Lippmann, 1999 : 21).

Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.

Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalu opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah (Ibid, : 15). Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.



C. Sistem Politik Indonesia

Untuk memahami lebih jauh tentang mekanisme pembentukan hukum di Indonesia, perlu dipahami sistem politik yang dianut. Sistem politik mencerminkan bagaimana kekuasaan negara dijalankan oleh lembaga-lembaga negara dan bagaimana meknaisme pengisian jabatan dalam lembaga-lembaga negara itu dilakukan. Inilah dua hal penting dalam mengenai sistem politik yang terkait dengan pembentukan hukum.

Beberapa prinsip penting dalam sistem politik Indonesia yang terkait dengan uraian ini adalah sistem yang berdasarkan prinsip negara hukum, prinsip konstitusional serta prinsip demokrasi. Ketiga prinsip ini saling terkait dan saling mendukung, kehilangan salah satu prinsip saja akan mengakibatkan pincangnya sistem politik ideal yang dianut. Prinsip negara hukum mengandung tiga unsur utama, yaitu pemisahan kekuasaan - check and balances - prinsip due process of law, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan jaminan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip konstitusional mengharuskan setiap lembaga-lembaga negara pelaksana kekuasaan negara bergerak hanya dalam koridor yang diatur konstitusi dan berdasarkan amanat yang diberikan konstitusi.

Dengan prinsip demokrasi partisipasi publik/rakyat berjalan dengan baik dalam segala bidang, baik pada proses pengisian jabatan-jabatan dalam struktur politik, maupun dalam proses penentuan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh berbagai struktur politik itu. Karena itu demokrasi juga membutuhkan transparansi (keterbukaan informasi), jaminan kebebasan dan hak-hak sipil, saling menghormati dan menghargai serta ketaatan atas aturan dan mekanisme yang disepakati bersama.

Dengan sistem politik yang demikianlah berbagai produk politik yang berupa kebijakan politik dan peraturan perundang-undangan dilahirkan. Dalam kerangka paradigmatik yang demikianlah produk politik sebagai sumber hukum sekaligus sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum diharapkan – sebagaimana yang dianut aliran positivis – mengakomodir segala kepentingan dari berbagai lapirsan masyarakat, nilai-nilai moral dan etik yang diterima umum oleh masyarakat. Sehingga apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu. Nilai-nilai moral dan etik dianggap telah termuat dalam perundang-undangan itu karena telah melalui proses partisipasi rakyat dan pemahaman atas suara rakyat. Dalam hal produk itu dianggap melanggar norma-norma dan nilai-nilai yang mendasar yang dihirmati oleh masyarakat dan merugikan hak-hak rakyat yang dijamin konstitusi, maka rakyat dapat menggugat negara (institusi) tersebut untuk mebatalkan peraturan yang telah dikeluarkannya dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian nilai moral dan etik, kepentingan-kentingan rakyat yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial tetap menjadi hukum yang dicita-citakan yang akan selalui mengontrol dan melahirkan hukum positif yang baru melalui proses perubahan, koreksi dan pembentukan perundangan-undangan yang baru.

IV. Kesimpulan

Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. Dari uraian pada bagian terdahulu, tidak diragukan lagi bahwa apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembagan sistem hukum Indonesia ke depan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya hukum yang baru melalui perubahan, koreksi serta pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hukum adat dengan bentuknya yang pada umumnya tidak tertulis, yang sifatnya religio magis, komun, kontan dan konkrit (visual), sebagai hukum asli Indonesia semakin tergeser digantikan oleh paham positivis. Menurut Penulis, berbagai masalah kekecewaan pada penegakan hukum serta kekecewaan pada aturan hukum sebagian besarnya diakibatkan oleh situasi bergesernya pemahaman terhadap hukum tersebut serta proses pembentukan hukum dan putusan-putusan hukum yang tidak demokratis.



DAFTAR PUSTAKA



1. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.
2. Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
3. Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti, Bandung 2001.
4. —————————–, Pengantar Filsafat Hukum, Cet. III, CV Mandar Maju, Bandung, 2002.
5. Bushar Muhammad, Asas_Asas Hukum Adat, Suatu Pengantar, Cet. ke 4, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.
6. Fletcher, George P, Basic Concepts of Legal Thougt, Oxford University Press, New York, 1996.
7. Mieke Komar, at al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Alumni, Bandung, 1999.
8. Otje Salman, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
9. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. ke 27, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
10. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cet. I, Konstitusi Press, 2005.
11. Lippman, Walter. Filsafat Publik, Terjemahan dari buku aslinya yang berjudul ” The Publik Philosophy, oleh A. Rahman Zainuddin, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1999.


Kutipan dari website http://hamdanzoelva.wordpress.com/

PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN (Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP)


“Perkara Sampah Masuk Keranjang Sampah”

Bulan Juli lalu aku mendapatkan perintah untuk meneliti berkas perkara dari penyidik perihal dugaan “perbuatan tidak menyenangkan”, ini tentu saja bukan yang pertama aku “mendapatkan” perkara dengan sangkaan Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, namun bila aku ingat tidak dari semuanya saat tuntutan (requisitoir) dibacakan, aku membuktikan pasal ini, ya biasanya memang dalam berkas perkara yang dikirimkan oleh penyidik pasal yang dikenakan biasanya berlapis ataupun bersifat alternatif seperti Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP disandingkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 12/Drt/1951 yaitu perbuatan secara tanpa hak membawa senjata penusuk maupun senjata penikam. Aku sih ingin cerita kenapa aku tidak membuktikan Pasal 335 itu, tidak lain karena setiap kali mendapatkan pasal itu, aku merasa perbuatan dari tersangka/terdakwa itu tidak memenuhi unsur dari Pasal 335 itu, namun anehnya selama kurang lebih 2 tahun aku bergelut dalam pekerjaan yang senantiasa dan selalu berhadapan dengan masalah ini, banyak sekali perkara yang dikerjakan penyidik menyelipkan Pasal 335 di dalam sangkaannya, ini menjadi mengingatkanku pada waktu kuliah dulu bahwa perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP adalah “pasal karet” adalah “keranjang sampah”, bahkan banyak yang mengatakan bahwa semua perbuatan dapat masuk dalam pasal ini, harusnya pasal ini dihapus, tapi benarkah demikian sederhana?

Sebelum mencoba mempreteli Pasal 335 ini, aku ingin sedikit melanjutkan cerita tentang berkas perkara yang aku dapat bulan juli tadi, ya tindak pidana yang disangkakan oleh penyidik adalah tunggal, gambaran kasus posisinya kurang lebih begini “pelapor sebutlah A, tengah membuang 1 kantong plastik sampah di areal sekitar pasar desa, setelah membuang sampah tersebut A pulang dan kurang lebih 10 menit setelah itu, tetangganya si A katakanlah B yang tinggal di sekitar pasar, mengambil sampah yang dibuang si A, dimana selanjutnya membawa dan melemparkan sampah tersebut ke rumah A yang mengenai kaca depan rumahnya, karena merasa terhina, A kemudian melaporkan B atas perbuatan tidak menyenangkan.”, miris juga ketika mendapatkan perkara ini, “perkara sampah” yang masuk “keranjang sampah” ironis..

Baik kita akan coba membedah perbuatan tidak menyenangkan ini, pertama dengan melihat bunyi Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, disini aku memakai KUHP terjemahan/disusun R. Soenarto Soerodibroto (pada pokoknya KUHP mana aja sama karena semua berasal dari Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dari jaman penjajahan Belanda di Indonesia (Nederlandsch Indie), jadi kalaupun ada perbedaan hanya pada penggunaan istilah dan susunan kalimat saja), dimana pasal ini berbunyi “barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan atau memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”
Bahwa bila kita melihat rumusan bagian inti delik (delicts bestanddelen) tersebut maka kita dapat melihat bahwa tindak pidana tersebut berupa :
  1. Pelaku adalah barang siapa, artinya setiap orang (person) yang melakukan perbuatan tersebut yang mampu bertanggung jawab menurut hukum.
  2. Bentuk perbuatan adalah memaksa, dimana yang dimaksud dengan “memaksa” adalah menyuruh orang untuk melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) sehingga orang itu melakukan sesuatu (atau tidak melakukan sesuatu) berlawanan dengan kehendak sendiri, (R. Soesilo).
  3. Objeknya adalah : orang, bahwa perbuatan memaksa tersebut ditujukan kepada orang.
  4. Dilakukan dengan Secara melawan hukum, singkatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan hukum baik dalm arti obyektif maupun hukum dalam arti subyektif dan baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis (lihat Arrest HR 6 Januari 1905 dan Arrest HR 31 Januari 1919).
  5. Cara melakukan perbuatan (bersifat alternatif), 
  • yaitu dilakukan baik :dengan kekerasan; untuk unsur kekerasan, lihat Pasal 89 KUHP, dimana disamakan dengan melakukan kekerasan adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi.. dimana menurut R. Soesilo, “tidak berdaya” artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun. atau dengan perbuatan lain; maupun dengan perbuatan yang tidak menyenangkan.  
  • dengan ancaman kekerasan; atau dengan ancaman perbuatan lain; maupun dengan ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan.
    6.  Tujuan pembuat melakukan perbuatan (bersifat alternatif) :
  •  orang itu atau orang lain supaya melakukan sesuatu.
  • orang itu atau orang lain supaya tidak melakukan sesuatu.
  • orang itu atau orang lain membiarkan sesuatu.

Dalam prakteknya, penerapan Pasal 335 KUHP oleh Mahkamah Agung R.I. (MA) akan menekankan pada penafsiran terhadap “unsur paksaan” sebagai unsur utama yang harus ada dalam rangkaian perbuatan yang tidak menyenangkan. Unsur paksaan, menurut MA, tidak selalu diterjemahkan dalam bentuk paksaan fisik, tapi dapat pula dalam bentuk paksaan psikis.

Dalam putusan Nomor : 675 K/Pid/1985 tanggal 4 Agustus 1987 yang memperbaiki putusan bebas (vrijspraak) dari Pengadilan Negeri Ende Nomor : 15/Pid.B/1984 tanggal 26 Maret 1985, MA telah memberi kualifikasi perbuatan pidana yang tidak menyenangkan yaitu: “Dengan sesuatu perbuatan, secara melawan hukum memaksa orang untuk membiarkan sesuatu.” Artinya, ada rangkaian perbuatan terdakwa yang bersifat melawan hukum yang melahirkan akibat yaitu orang lain atau korban tidak berbuat apa-apa sehingga terpaksa membiarkan terjadinya sesuatu sedang dia (korban) tidak setuju atau tidak mau terjadinya sesuatu tersebut, baik karena dia tidak suka maupun karena dia tidak membolehkan terjadinya sesuatu tersebut; akan tetapi dia tidak mempunyai kemampuan fisik dan psikis untuk menolak, menghalangi, menghindar dari terjadinya perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut.

Bahwa penekanan pada unsur “memaksa” sebenarnya adalah logis, karena perbuatan tidak menyenangkan yang diatur dalam Pasal 335 ini bila kita kaji sesungguhnya termasuk dalam Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Seseorang yang diatur dalam Bab XVIII KUHP, dimana bila kita melihat tindak pidana atau katakanlah kejahatan yang diatur di dalamnya kesemuanya menentukan bahwa seorang korban kejahatan tidak dapat berbuat-apa, tidak berdaya dan/atau tidak memiliki pilihan (kemerdekaan) untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana kehendaknya sendiri, kita bisa melihat misalnya Pasal 324, 325, 326, 327 KUHP mengatur tentang kejahatan perniagaan budak, Pasal 328 KUHP penculikan, 329 KUHP mengangkut orang ke daerah lain tidak sebagaimana perjanjian kerja, Pasal 330, 331, 332 KUHP perihal membawa lari anak dan/atau wanita belum dewasa, 333, 334 KUHP merampas kemerdekaan seseorang (menahan/mengurung seseorang baik karena sengaja maupun alpa), Pasal 335 KUHP perbuatan tidak menyenangkan (?), Pasal 336 KUHP pengancaman (ada beberapa perbuatan alternatif di dalamnya.

Dengan demikian masihkah kita mengatakan bahwa Pasal 335 KUHP ini merupakan keranjang sampah? merupakan pasal karet? pasal yang dapat digunakan siapa saja yang merasa tidak senang akan ulah atau perbuatan seseorang yang kemudian melaporkan hal tersebut kepada kepolisian dengan dalih melakukan perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana yang dilakukan A yang tidak senang akan tindakan tetangganya si B yang melempar rumahnya dengan sekantong plastik sampah. Bahwa benar salah satu cita hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban dalam hidup bermasyarakat, akan tetapi tidak semua “masalah” yang notabene-nya adalah dassolen yang tidak ketemu/klop dengan dassein harus diselesaikan lewat institusi yang bernama hukumkan?

Bahwa dalam kehidupan bertetangga kita semua mengharapkan ketertiban, kerukunan, namun tentu tidak jarang kita temui kerukunan tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, katakanlah ada tetangga kita yang seringkali menyalakan tape/televisi/radio dengan suara yang keras hingga membuat bising (apalagi dengan selera musik yang berbeda), ada tetangga kita yang kebetulan rumahnya adalah sekretariat organisasi yang sering mengadakan pertemuan, rapat hingga dini hari, ada tetangga (perempuan) kita yang sering menerima tamu lelaki hingga tak kenal waktu dan banyak lagi tetangga kita lainnya yang kadang pikir, sikap, prilakunya tidak bisa kita terima, tapi pertanyaannya apakah semua harus kita selesaikan lewat institusi hukum? Tentu tidak bukan, untuk itulah dalam kehidupan bermasyarakat, kehidupan bertetangga ada institusi yang bernama Rukun Tetangga (RT) ada institusi yang kita sebut dengan Rukun Warga (RW), ada institusi yang kita sebut dengan Kepala Desa beserta jajarannya, itulah institusi-institusi yang juga berperan dalam mewujudkan ketertiban, kerukunan dalam hidup bermasyarakat.

Cukuplah kita melihat berita-berita seperti Hamdani yang “melakukan pencurian” sandal bolong PT Osaga Mas Utama yang ia kenakan untuk mengambil air wudhu; nenek minah yang “mencuri” 3 buah kakao di Kebun PT. Rumpun Sari Antan untuk dijadikan bibit; Basar dan Kholil dengan 1 buah semangka; atau perbuatan tidak menyenangkan untuk CEO Buzz & Co, Sumardy si pengirim peti mati; perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan Lim Ping Kiat yang dilaporkan dilaporkan PT ERA Indonesia ke Polres Jakarta Barat karena telah menulis surat pembaca karena merasa dirugikan saat membeli rumah di Taman Ratu melalui agen jasa penjualan rumah ERA Graha Asri, perbuatan tidak menyenangkan Hendarman Supanji yang dilaporkan Yusril Ihza Mahendra karena Pagar Kejaksaan Agung yang tergembok; perbuatan tidak menyenangkan yang dilaporkan Nurdin Halid atas ucapan Saleh Iskandar Mukandar (Ketua Persebaya 1927) di salah satu acara di sebuah stasiun televisi yang mengatakan “Semua pengurus PSSI penipu”.
Hukum hendaknya membawa bahagia bukan sengsara..

Kutipan dari http://minsatu.blogspot.com